Benturan Antarperadaban: Wacana Prognisis Futuristik Tentang Lanskap Era Baru Politik Global

PENDAHULUAN
Buku Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik dunia karya Samuel P. Huntington adalah buku terjemahan dari judul asli The Clash of Civilazation and The Remaking of World Order yang secara garis besar menceritkan tentang sebuah prognisis sekaligus proyeksi situasi dan konflik yang akan dialami dunia politik global era baru pasca perang dingin (The Cold War). Hipotesa mayor yang ia rumuskan mengatakan bahwa konflik terbesar yang terjadi di era baru politik dunia disebabkan oleh benturan peradaban dari sejumlah negara atau kelompok yang semakin multipolar. Menurutnya, peradaban-peradaban yang semakin kompleks dan multikultural merupakan faktor dominan yang paling rasional dalam menjadikan situasi perpolitikan dunia semakian tidak terarah dan keluar dari tatanan sistem internasional yang jauh dari esensi peradaban. Tidak lagi kepentingan ekonomi dan ideologi yang secara kuat melatarbelakangi lahirnya perang dunia I dan perang dunia II hingga perang dingin sebagaimana sejarah pernah mencatatnya, namun setelah berakhirnya perang dingin kondisi politik dunia telah mengalami kohesi dan gesesan kultural dan puncaknya peradaban, baik dalam skala kecil (regional) atau skala besar (internasional).
Buku ini secara keseluruhan terdiri dari lima bagian besar dan setiap bagian terdiri dari sub-sub bagian spesifik. Dari sekian bagian, saya akan mengulas bagian pertama yang saya kira penting untuk dipahami secara mendalam agar tidak terjebak dalam narasi-narasi yang tersamarkan. Judul besar dari bagian pertama adalah sebuah dunia peradaban yang terbagi ke dalam beberapa sub bagian; 1) Era baru dalam dunia politik yang terbagi menjadi empat mikro judul antara lain; pendahuluan: bendera dan identitas budaya, sebuah dunia yang multipolar dan multisivilisasional, dunia yang lain, dan dunia yang lain, dan membandingkan dunia: realisme, parsimony, dan prediksi-prediksi, 2) Sejarah peradaban yang terdiri dari hakikat peradaban dan hubungan antarperadaban, dan 3) Peradaban universial: modernisasi dan westernisasi yang terdiri dari makna peradaban universal, peradaban universal: sumber-sumber, barat dan modernisasi, dan barat dan modernisasi: tanggapan-tanggapan.
ERA BARU DALAM DUNIA POLITIK
Huntington memberikan pengenalan dan melakukan generalisasi ontologis tentang terma-terma yang akan menjadi poin penting dalam pemabahasannya. Terma-terma tersebut mencakup apa yang dimaksud dengan identitas budaya, dunia multipolar dan multisivilisasional dan dunia yang lain. Tiga hal dasar ini yang kemudian ia kembangkan menjadi sebuah konstruk pemikiran yang begitu luas dan mengundang banyak asumsi-asumsi kritis. Menurutnya, tahun-tahun pasca terjadinya perang dingin adalah saksi bagi dimulainya (starting point) perubahan identitas-identitas kultural dan simbol-simbol yang menyertainya. Politik global telah menunjukkan rekonfigurasi sistem di sepanjang lintas batas ruang dan waktu. Ia mengistilahkan naik-turunnya bendera adalah sebuah tanda sedang terjadi masa transisi. Semakin sering naik-turunnya bendera, semakin banyak pula bendera-bendera yang menjulang tinggi dan berkibar dengan pasti. Dalam arti yang lain, banyaknya bendera dan identitas kultural yang tak terhingga ini mengindikasikan bahwa kebudayaan dan identitas budaya sangat penting bagi sebagian orang. Identitas (budaya) dan simbol-simbol tertentu seringkali digunakan oleh orang-orang untuk memperkuat eksistensi dan tentunya untuk tujuan penguasaan atas kelompok atau budaya yang lain. Sebagaimana terjadi dalam sejarah, pada 18 Paril 1994, di Sarajevo ketika itu terdapat dua ribu orang turun ke jalan dan mengibar-kibarkan bendera Turki dan Arab Saudi sebagai ganti dari bendera PBB, NATO, dan Amerika Serikat. Aksi ini memberikan signifikasi bahwa mereka ingin menyatakan diri bahwa mereka adalah Muslim dan memberitahukan pada dunia siapa kawan dan siapa musuh mereka (Huntington, 2003: h. 4).
Setelah berbicara tentang simbol dan identitas budaya, Huntington kemudian mengajak pembaca untuk menyelami apa yang disebut dengan politik global yang multipolar dan multisivilisasional. Menurutnya, selama lebih 400 tahun, negara-negara Barat; Amerika, Inggris, Perancis, Spanyol, Austria dan Jerman telah menegakkan sebuah tatanan internasional yang multipolar yang berpacu dengan peradaban Barat. Maksudnya, multipolar di sini adalah konsep yang mensyaratkan semua negara untuk berinteraksi, bersaing, dan bahkan berperang antara satu sama lain. Dalam waktu yang sama, bangsa-bangsa Barat melakukan ekspansi, invasi, penaklukan, dan kolonisasi terhadap peradaban-peradaban lain. Dalam masa-masa perang dingin, politik dunia bersifat bipolar, yaitu segala kekuasaan politik terpusat pada dua negara adidaya, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Amerika ketika itu selalu digambarkan dengan negara yang makmur dan demokratis yang menyatakan perang baik secara militer, ekonomi, politik, maupun ideologis terhadap negara-negara komunis yang miskin di bawah komando Uni Soviet. Setelah berakhirnya perang dingin pada akhir 1980-an, kondisi negara komunis berada dalam ambang batas kehancuran dan pada saat yang sama negara demokrasi liberal menjadi sorotan publik dan sebagai akhir dari evolusi sosial, ekonomi, dan pemerintahan dunia. Inilah yang oleh Francis Fukuyama disebut dengan End of History (Masa berakhirnya sejarah) yang pernah hidup selama berpuluh-pulu tahun lamanya.
Di titik ini pula persoalan yang mengemuka bukan lagi persoalan-persoalan ideologi, politis, militer, atatupun ekonomi, tetapi persoalan budaya. Orang-orang saling mengidentikkan diri melalui asal-usul (keturunan), agama, bahasa, sejarah, adat-istiadat, dan institusi-institusi tertentu. Tidak sedikit dari mereka kemudian mengidentifikasi diri dengan berbagai kelompok budaya, suku-suku bangsa, kelompok etnis, komunitas-komunitas keagamaan dan pada skala yang lebih luas, perdaban-peradaban. Orang-orang tidak lagi menggunakan politik hanya untuk kepentingan-kepentingan semata, tapi juga untuk menyatakan identitas diri. Lalu, dalam tatanan dunia baru ini, konflik-konflik yang mudah menyebar dan paling berbahaya bukan lagi konflik antarkelas sosial, antar golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok kekuatan ekonomi lainnya, melainkan konflik antarkelompok yang mempunyai entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Pertikaian dan pertentangan antaretnis, antarsuku, dan bahkan antaragama akan senantiasa terjadi. Kekerasan yang terjadi dalam skala lokal nantinya juga akan mempunyai tingkat posibilitas mengundang negara-negara dan kelompok-kelompok peradaban lain dalam skala global untuk saling memberikan dukungan terhadap “negara-negara saudara” mereka (Huntington, 2003: h. 9). Hal senada juga dinyatakan oleh Jacques Delors yang mengatakan bahwa konflik-konflik yang terjadi di masa depan mayoritas lebih disebabkan oleh faktor budaya (cultural factors) daripada faktor ekonomi dan ideologi (Huntington, 2003: h. 10). Fakta empiris menyebutkan misalnya pasca perang dingin, dunia tengah sibuk mempersiapkan dan membangun identitas budaya masing hingga diikuti konflik bahkan perang yang berkepanjangan. Sebut saja misalnya meletusnya awal perang teluk (Gulf War) yang terjadi antara Iran-Irak pada tahun 1980-1988, kemudian disusul perang teluk II yang terjadi antara Irak-Kuwait pada tahun 1990-1991 perang teluk III yang terjadi antara Irak-Amerika Serikat 2003-2011, hingga peristiwa pembajakan pesawat penumpang dan pengeboman gedung WTC (World Trade Center) di New York pada 11 September 2001 atau dikenal dengan peristwa tragedi 11/9
Selain itu, Huntington juga menegaskan bahwa kebudayaan di satu sisi dapat menjadi kekuatan pemersatu dan di sisi lain juga dapat berubah menjadi alat pemecah-belah. Artinya, sebuah negara, masyarakat, atau kelompok dapat saja terpisahkan oleh ideologi, namun tersatukan melalui kebudayaan atau sebaliknya. Misalnya, sejarah pernah meriwayatkan bahwa pada masa perang dunia II, negara Jerman pernah terpisahkan oleh ideologi menjadi dua bagian; Jerman Barat dan Jerman Timur, lalu kemudian negara Korea yang terpisahkan oleh ideologi menjadi dua bagian; Korea Utara dan Korea Selatan. Jerman Barat saat itu dikuasai oleh pihak sekutu dalam hal ini Amerika Serikat yang kemudian menjadikan Jerman Barat berpaham demokrasi liberal, sedangkan Jerman Timur dikuasai oleh pihak blok sentral dalam hal ini Uni Soviet yang kemudian menjadikan Jerman Timur berpaham komunis. Meski demikian, Jerman secara keseluruhan memiliki kebudayaan yang sama. Pernah juga sejarah mencatat bahwa sempat terjadi masyarakat yang tersatukan oleh ideologi ataupun ikatan-ikatan historis, tapi terpisahkan oleh kebudayaan (peradaban dalam skala besar). Misalnya, selama 45 tahun, politik Tirai Besi telah menjadi garis pemisah di antara negara-negara Eropa. Garis itu kini memisahkan antara Kristen Barat di satu pihak, dengan umat Islam dan kaum Ortodoks di pihak yang lain (Huntington, 2003, h. 11).
Setelah banyak membahas identitas kultural, lalu apa yang dimaksud dengan politik global era baru menurut Huntington? Pada paragraf ini penulis akan mencoba untuk mengeskplorasi pendapat Huntington terkait hal tersebut. Sebelum melangkah lebih jauh, hal mendasar yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah tentang sebuah peta atau paradigma. Peta atau paradigma adalah sebuah abstraksi yang secara khusus digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Ia tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga mampu menyederhanakan realitas melalui cara yang sebaik-baiknya sesuai kebetuhan. Dalam arti yang lain, paradigma adalah sebuah keniscayaan dalam suatu proses intelektual. Ia senantiasa terlibat dan terkait dalam kemajuan intelektual dan ilmu pengetahuan untuk menerangkan fakta-fakta atau persoalan yang baru. Dalam konteks ini, gambaran tentang perang dingin sebagai wujud persaingan negara adidaya diposisikan sebagai bentul model paradigma untuk memahami persoalan-persoalan dunia politik. Sebagai model yang sederhana dari gambaran politik global, ia merupakan langkah awal yang esensial untuk memikirkan persoalan internasional yang dapat diterima secara universal dan telah membentuk cara pandang terhadap dunia politik selama dua periode.
Menurutnya, ada beberepa paradigma yang dapat dikembangkan berdasarkan asumsi akhir perang dingin. Pertama, paradigma satu dunia: euphoria dan harmoni. Salah satu paradigma yang tergambarkan secara luas dengan didasarkan pada asumsi bahwa akhir perang dingin adalah akhir dari konflik dalam politik global dan lahirnya sebuah dunia yang relatif harmonis. Berkaitan dengan hal ini, formulasi tesis End of History (akhir sejarah) yang dikembangkan oleh Francis Fukuyama adalah salah satu paradigma berfikir yang dapat direnungkan. Ia mengatakan bahwa akhir sejarah ialah akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final dari sistem pemerintahan umat manusia yang akan memberikan sebuah tatanan yang lebih harmonis (Huntington, 2003: p. 16). Namun, sayangnya yang terjadi sesungguhnya bukan sebuah tatanan yang harmonis, melainkan hanya ilusi akan harmoni. Masa-masa akhir perang dingin, dianggap sebuah manifestasi yang akan mengantarkan pada sebuah perdamaian, namun nyatanya masih banyak pertikaian dan peperangan yang terjadi. Ilusi akan harmoni pada akhir perang dingin segera disusul oleh meningkatnya konflik antaretnis dan pembersihan etnis, runtuhnya hukum dan tatanan, munculnya pola-pola aliensi baru, bangkitnya Gerakan-gerakan neokomunis dan neofasis, merebaknya kelompok fundamentalisme agama, ketidakmampuan PBB dan Amerika Serikat dalam mencegah terjadinya konflik berdarah, dan semakin kuat posisi Cina. Fenomena seperti ini yang kemudian disebut sebagai paradigma tentang keselarasan (euphoria) dunia yang tampak sangat jauh dari kenyataan. Kedua, paradigma dua dunia: kami dan mereka. Paradigma ini lebih mengarah pada kecenderungan berfikir oposisi biner. Model yang sering digunakan adalah sifat fanatisme kelompok yang kemudian melahirkan arogansi-arogansi tertentu. Orang-orang selalu membagi manusia ke dalam kami dan mereka, satu golongan dan di luar golongan, peradaban kita dan kaum Barbarian (Huntington, 2003: p. 18). Para intelektual kerap mengistilahkannya dengan dunia Timur dan Barat, Utara dan Selatan, pusat dan pinggir. Muslim konservatif membagi dunia ke dalam Dar al-Islam dan Dar al-Harb, tempat tinggal kedamaian dan wilayah perang. Sementara kelompok Barat membagi dunia ke dalam zona perdamaian dan zoma pertempuran. Berdasarkan asumsi paradigma ini, tak heran jika sebagian sarjana juga menyebutkan bahwa poros utama dunia politik pasca perang dingin adala hubungan antara kekuatan dan kebudayaan Barat dengan kekuatan dan kebudayaan (peradaban dalam skala luas) non-Barat. Lalu disusul kemudian dengan istilah dikotomi antara Barat dan Timur, konfrontasi Barat terhadap Timur, polarisasi Barat dan Timur, dan seterusnya. Hal seperti ini mengutip pendapatnya Edward Said adalah sebuah mitos dan luka berkepanjangan yang ditancapkan oleh para orientalis sejak berabad-abad lamanya. Mitos yang menganggap bahwa Barat adalah entitas yang paling unggul daripada yang lain, peradaban yang paling modern, berkembang, dan maju daripada peradaban lain yang tradisional, terbelakang, dan sedang berkembang. Ketiga, adalah paradigma realis hubungan internasional. Menurut paradigma teori ini, setiap negara pada dasarnya selalu bergantung pada aktor-aktor penting yang berperan penting dalam urusan dunia. Hubungan antara satu negara dengan negara yang lain adalah satu bentuk anarki. Dalam hal ini untuk menciptakan sebuah kelangsungan hidup serta keamanan, setiap negara senantiasa berusaha untuk memaksimalkan kekuatan mereka. Jika suatu negara telah memperbesar kekuatannya, hal itu akan dipandang sebagai sebuah ancaman. Jika hal tersebut terjadi, maka suatu negara akan meningkatkan dan memperbesar kekuatannya dan bahkan cenderung mengadakan aliansi dengan negara-negara lain (Huntington, 2003: p. 21).
PERADABAN: DULU DAN SEKARANG
Dalam sub bab ini secara terperinci ia menguraikan hakikat peradaban dan bagaimana sesungguhnya hubungan antarperdaban itu. Hakikat peradaban pada prinsipnya dapat dipahami melalui beberapa pengertian berikut: 1) peradaban mengandung arti singular dan plural, 2) peradaban adalah kumpulan entitas kultural, 3) perdaban bersifat komprehensif, dan 4) perdaban bersifat fana, tapi relatif bertahan lama. Pertama, maksud dari peradaban dalam arti singular adalah suatu konsep yang memperlawankannya dengan konsep “Barbarianisme”. Sebuah masyarakat berperadaban yang dibedakan dari masyarakat primitif. Mereka adalah masyarakat urban, hidup menetap, dan terpelajar. Sedangkan peradaban dalam konteks arti plural adalah penolakan terhadap suatu peradaban yang dirumuskan sebagai suatu pandangan hidup. Ia adalah asumsi yang menyatakan bahwa terdapat tolak ukur tunggal bagi apa yang disebut sebagai ‘berperadaban’. Sebagaimanna pendapat Braudel yang mengatakan bahwa berperadaban ialah sebuah privilege (eksklusivitas) dari sekelompok orang atau ‘elit’ tertentu. Kedua, peradaban adalah kumpulan entitas kultural, maksudnya adalah peradaban dibangun berdasarkan komponen-komponen budaya seperti nilai-nilai, norma-norma, adat-istiadat, pola pikir (pandangan dunia) dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi yang lain. Braudel memperkuat pandangan tersebut dengan mengatakan bahwa peradaban adalah sebuah wilayah, wilayah kultural, sekumpulan karakteristik, dan fenomena kultural. Hal senada juga dinyatakan oleh Dawson, peradaban adalah produk dari suatu proses tertentu dari kreativitas budaya sebagai hasil karya dari sekelompok orang (masyarakat) tertentu. Dari pandangan-pandangan tersebut, Huntington kemudian merumuskan bahwa darah, bahasa, agama dan pandangan hidup adalah satu kesatuan penyusun sebuah peradaban yang telah membedakan orang-orang Yunani dari orang-orang Persia dan orang-orang non-Yunani yang lain. Lebih jauh lagi, Huntington dalam konteks ini sangat memperhatikan faktor agama. Menurutnya, agama adalah bagian terpenting dalam sebuah peradaban. Pada tataran yang luas, dalan sejarah manusia, peradaban-peradaban besar umunya identik dengan agama-agama besar dunia. Orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa, namun berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain, sebagainaba yang pernah terjadi di Lebanon, Yugoslavia, dan Anak Benua (Huntington, 2003: p. 41). Ketiga, peradaban bersifat komprehensif. Maksudnya, peradaban dibangun tidak hanya dari satu unsur atau entitas saja, melainkan banyak dan membentu satu kesatuan. Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah sebuah totalitas. Peradaban adalah entitas yang paling luas dari budaya. Ia terdefinisikan baik dalam faktor-faktor objektif pada umumnya, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan-kebiasaan, maupun identifikasi diri yang bersifat subjektif. Sebuah perkampungan, wilayah, kelompok etnis, nasionalitas, kelompok keagamaan, seluruhnya memiliki perbedaan kultur pada tingkatan yang berbeda dari heterogenitas kultural. Kultur dari sebuah perkampungan Italian barangkali berbeda dari kultur dari sebuah perkampungan di utara Italia, namun secara umum keduanya sama-sama memiliki kultur Italia yang membedakan mereka dari kultur perkampungan Jerman, begitu seterusnya. Keempat, peradaban pada dasarnya bersifat fana (tidak akan abadi, memungkinkan untuk hilang dan hidup Kembali), tapi ia dapat berkembang dan hidup dengan sangat lama. Peradaban adalah fakta kesejarahan yang membentang dalam kurun waktu yang sangat Panjang. Dalam pengertian yang lain, peradaban akan senantiasa mengalami kemunduran dan sekaligus berkembang. Ia bersifat dinamis. Sebagaimana Quigley menyatakan bahwa peradaban-peradaban berkembang melalui tujuh tahapan; percampuran, pergerakan, perluasan, masa konflik, kekuasaan universal, keruntuhan, dan invasi (Huntington, 2003: p. 45).
Di akhir uraian Huntington tentang hakikat peradaban, ia memberikan gambaran bahwa dalam dunia kontemporer terdapat delapan peradaban mayor yang masih eksis sampai sekarang, antara lain: 1) Peradaban Tionghoa/Peradaban Cina, 2) Peradaban Jepang, 3) Peradaban India/Peradaban Hindu, 4) Peradaban Islam, 5) Perdaban Ortodoks, 6) Peradaban Barat, 7) Peradaban Amerika Latin, 8) Peradaban Afrika. Dari sekian perdaban tersebut, menurut Huntington agama adalah bagian yang paling berperang penting dalam membangun peradaban. Sebagaimana dikatakan oleh Christopher Dawson, agama-agama besar adalah bangunan-bangunan dasar bagi peradaban-peradaban besar. Empat dari lima agama besar dunia; Kristen, Islam, Hinduisme, dan Konfusianisme diasosiasikan dengan peradaban-peradaban besar dunia.
Lalu, bagaimana hubungan antara peradaban satu dengan peradaban yang lain? Bagaimana peradaban-peradaban di dunia dapat bertemu, berakulturasi, bahkan melebur jadi satu peradaban baru? Dalam hal ini Huntington memberikan beberapa pandangan, antara lain: 1) Pertemuan antarperadaban sebelum 1500 M, 2) Pengararuh: Kebangkitan Barat, dan 3) Interaksi-interaksi: sebuah sistem multisivilisasional. Pertama, selama lebih dari seribu tahun setelah pertama kali munculnya peradaban-peradaban, hubungan antarperadaban terbatas sekaligus intens. Artinya, berbagai peradaban terpisahkan oleh ruang dan waktu. Hanya sedikit peradaban yang memiliki keberadaan dalam satu masa tertentu dengan sebuah perbedaan yang signifikan, sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin Schwartz dan Shaumel Eisenstadt, antara peradaban-peradaban Abad Pertengahan (Axial Age) dan sebelum Abad Pertengahan merupakan sebuah pembedaan antara tatanan yang transedental dan tatanan duniawi. Peradaban-peradaban juga dipisahkan oleh wilayah geografis. Hingga 1500 M, peradaban-peradaban Andea dan Meso Amerika tidak pernah berhubungan dengan peradaban-peradaban yang lain. Berbagai perkembangan ide dan teknologi bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, meski memakan waktu berabad-abad, dari satu peradaban ke peradaban yang lain. Misalnya, alat cetak ditemukan di Cina pada abad 8 M dan teknologi ini baru sampai di Eropa pada abad 15 M, kertas dikenal di Cina pada abad 2 M dan memasuki jepang pada abad 7 M hingga dikenal di bagian barat Asia Tengah pada abad 8 M, dan sebagainya (Huntington, 2003: p. 54). Kedua, pengaruh kekuasaan Barat. Mula-mula sekitar abad 12 M dan 13 M, negara Barat melakukan ekspansi ke Spanyol dan mendominasi wilayah Mediterania, kemudian pada tahun 1500 M, kebangkitan kebudayaan Eropa bergerak secara diam-diam da menggerakkan pluralism sosial, memperluas perdagangan dan menyajikan kemajuan teknologi yang kemudian menjadi landasan bagi sebuah era baru dalam politik global. Munculnya sistem internasional-Barat juga merupakan perkembangan signifikan kedua dalam kancah politik global pada masa setelah 1500 M. Terdapat pandangan dominasi-subordinasi antara masyarakat Barat dan non-Barat. Orang-orang Barat cenderung merasa memiliki sebuah kebudayaan yang bersifat umum dan mempertahankan hubungan yang luas melalui jaringan perdagangan yang aktif dan gerakan yang konstan antar manusia di dunia. Ketiga, adanya interaksi-interaksi yang intens akibat dari sistem multisivilisasional. Sekitar abad 12 M, hubungan antarperadaban bergerak melalui sebuah fase yang didominasi oleh adanya pengaruh langsung dari satu peradaban terhadap yang lainnya secara intens dan adanya interaksi-interaksi multidireksional antarperadaban.
PERADABAN UNIVERSAL: MODERNIASASI DAN WESTERNISASI
Setelah memahami penjelasan yang begitu panjang, dalam paragraf ini saya akan mengurai sub bagian ketiga sekaligus penutup dari bagian (bab) pertama dari buku ini, yaitu tentang peradaban universal: moderniasasi dan westernisasi. Apa yang dimaksud dengan peradaban universal yang terdiri dari pembahasan modernisasi dan westernisasi. Apakah dua istilah itu memiliki arti yang sama? Ketika membahas peradaban universal, Huntington menyebutkan ada beberapa asumsi dasar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam memahami peradaban universal. Pertama, bahwa berbagai masyarakat memiliki kesadaran moral yang rata-rata sama, konsep-konsep etika yang tidak jauh berbeda, dan pandangan dunia tentang apa yang benar dan salah. Kedua, peradaban universal dalam arti singular. Yaitu dapat digunakan untuk menunjukkan kondisi masyarakat yang telah berperadaban, sebagaimana masyarakat yang sudah memiliki kemampuan baca tulis dan dibedakan dari masyarakat yang primitif dan Barbarian. Ketiga, peradaban yang mengacu pada seperangkat asumsi, nilai, dan doktrin yang akhir-akhir ini dijalankan oleh sebagian orang di Barat dan oleh sebagian orang non-Barat. Ini kemudian yang disebut oleh Huntington dengan Davos Culture. Yaitu banyaknya intelektual dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu yang berkumpul dan bertemu dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Mereka umumnya berpegang pada individualism, ekonomi pasar, dan demokrasi yang juga tidak terpisahkan dari peradaban Barat. Keempat, asumsi tentang bentuk-bentuk budaya Barat dan kebudayaan popular di seluruh dunia yang kemudian menciptakan peradaban universal. Komunikasi global adalah salah satu manifestasi penting dari kekuatan Barat ini. Hegemoni Barat yang terus digenjarkan bagaimanapun juga akan mendorong populis Barat untuk menunjukkan bahwa budaya imperalisme Barat tengah bangkit dan memperingatkan masyarakat agar selalu waspada terhadap kelangsungan hidup dan integritas kebudayaan mereka. Dari sekian asumsi yang ada, secara esensial paradigma yang dapat dibangun adalah bahwa peradaban universal sejatinya merupakan produk Barat. Universalisme merupakan manifestasi dari ideologi Barat yang dicoba diterapkan dalam rangka menghadapi tantangan kebudayan-kebudayaan non-Barat. Gagasan tentang “beban orang kulit putih” telah membantu melancarkan ekspansi dominasi politik dan ekonomi Barat terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat. Selain itu, di penghujung abad 20 M, setelah berakhirnya perang dingin, konsep peradaban universal juga turut membantu melancarkan dominasi kultural Barat terhadap kebudayaa-kebudayaan non-Barat.
Beralih pada pembahasan selanjutnya tentang Barat dan modernisasi atau dalam sub bagian yang Huntington menyebutnya degan westernisasi dan modernisasi. Pembicaraan tentang dua terma ini menurut penulis juga cukup menarik, karena melihat asumsi mayor yang cenderung keliru memahami istilah westernisasi dan modernisasi. Banyak dari masyarakat yang memandang bahwa westernisasi adalah hal yang sama dengan modernisasi, begitu pula sebaliknya. Pemahaman semacam ini akan mengantarkan kepada sebuah kesimpulan bahwa peradaban Barat (western) adalah peradaban modern dan peradaban modern itu adalah peradaban Barat (western). Namun, pada prinsipnya pemahaman tersebut belum tuntas dan masih memungkinkan untuk diklarifikasi. Sebuah persepsi yang harus disamakan terlebih dahulu, menurut Huntington, peradaban universal merupakan hasil proses panjang modernisasi sejak abad 18 M. Modernisasi melibatkan industrialisasi, urbanisasi, meningkatnya masyarakat yang melek huruf, tingkat Pendidikan, kesejahteraan, mobilisasi sosial, berbagai tatanan yang lebih kompleks dan beragam (Huntington, 2003: p. 97). Hal itu merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak abad 18 M yang menjadikan manusia mampu membentuk serta mengendalikan alam melalui cara-cara tak terhingga. Dalam pengertian yang lain, moderniasasi adalah proses perubahan yang terjadi secara cepat yang dialami oleh masyarakat primitif menuju masyarakat berperadaban. Dari sini semakian tampak bahwa universalisasi disusun atau dibangun dengan unsur modernisasi. Sehingga peradaban Barat sesungguhnya sempat berada dalam kondisi yang belum modern. Menurut Huntington, peradaban Barat muncul pada abad 8 M dan 19 M hingga ia mampu mengembangkan karakteristiknya sendiri satu abad kemudian. Ia belum mengalami modernisasi hingga abad 7 M dan 8 M. Barat waktu itu masih sangat jauh dari modern. Hanya saja, peradaban Barat memang sudah berkembang pesat dan modern terlebih dahulu dibandingkan peradaban-peradaban yang lain. Lalu pertanyaan selanjutnya, karakteristik apa saja yang mewarnai masyarakat Barat selama beberapa ratus tahun sebelum Barat mengalami modernisasi? Menurut Huntington, ada delapan karakteristik yang dianggap identik dengan Barat sebelum memasuki fase modern, antara lain; 1) Peradaban Barat adalah generasi pewaris peradaban klasik, seperti filsafat dan rasionalisme Yunani, hukum romawi, Latin, Kristen, Ortodoks, dan peradaban Isalm, 2) Peradaban Barat menggunakan Bahasa Eropa, 3) Barat terkenal dengan pemisahan spiritual dan otoritas temporal, 4) Memakai konsep sentralitas hukum yang diwariskan oleh Romawi, 5) Pluralisme sosial yang multikultral, 6) Memiliki warisan yang representatif, dan 7) Individualisme.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa ekspansi Barat pada umumnya akan menawarkan modernisasi dan westernisasi sekaligus bagi masyarakat-masyarakat non-Barat. Akan tetapi, tidak semua kalangan intelektual dan akademisi dengan serta merta menerima kedua hal tersebut. Ada beberapa reaksi atau respon yang terbentuk dalam menyikapi dua arus besar dunia. Huntington menyebutkan setidaknya ada tiga cara atau paradigma dalam merespon westernisasi dan modernisasi di dunia, antara lain: 1) Paradigma Penolakan (rejectionsime), 2) Paradigma Kemalisme, dan 3) Paradigma Reformisme (reformism). Singkatnya, paradigma penolakan adalah paham yang menganggap bahwa modernisasi ataupun westernisasi mutlak tidak diperlukan dan memungkinkan untuk ditolak. Paham seperti ini sempat pernah dialami oleh Jepang dengan Gerakan restorasi Meiji dan Cina dengan politik isolasi. Adapun paradigma kemalisme mengatakan bahwa modernisasi dan westernisasi dipandang perlu dan keduanya saling menopang antara satu dan yang lain, yang kedua sangat penting karena merupakan jalan untuk mencapai yang pertama dan sebaliknya. Dalam pengertian yang lain, pesan yang terkandung dalam paham kemalisme adalah “untuk meraih sukses kalian harus seperti kami, jalan kamilah satu-satunya jalan”. Paham ini pernah menjajah negara Turki dengan pemimpinnya Mustafa Kemal Ataturk. Sedangkan paradigma reformisme memandang modernisasi diperlukan dan bisa saja dicapai tanpa westernisasi. Negara-negara yang menganut paham ini, di antaranya; Jepang, Cina, kemudian disusul negara-negara yang lain seperti Singapura, Taiwan, Arab Saudi, dan pada tingkatan yang kecil Iran. Mereka adalah negara-negara modern yang tanpa harus melalui westernisasi. Lalu, bagaimana dengan Islam sendiri dalam artian yang lebih luas? Intinya, dalam dinamika kehidupan masyarakat Muslim, terkadang memang menemukan kesulitan dengan modernisasi, namun Pipes menyatakan bahwa Westernisasi sebenarnya hal yang menyebabkan terjadinya benturan antara Islam versus modernitas dalam kaitannya dengan ajaran, pemikiran, hukum, ekonomi, dan seterusnya. Pernyataan Maxine Rodinson juga tidak kalah menarik, ia menyatakan bahwa agama Islam sejatinya tidak menghalangi umatnya dari jalan kapitalisme modern yang terus-menerus berkembang (Huntington, 2003: p. 116).
DAFTAR PUSTAKA
Huntington, S. P. (2003). Benturan Antarperadaban Dan Masa Depan Politik Dunia: Yogyakarta: Qalam.