Kekerasan Gender: Telaah Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Rumah Dalam Rumah Tangga

Abstract
The phenomenon of violence against women in Indonesia has increased quite sharply from year to year. Violence that occurs not only takes victims in large-scale public areas, but ironically, violence also often attacks victims in the domestic sphere, especially the family or household environment. Domestic violence is a form of gender violence caused by several factors, among which the most influential are patriarchal ideological factors that result in unequal relations between men and women on the basis of sex, roles, rights, obligations, and social attributes. This paper will analyze gender violence specifically regulated in the legislation of the Republic of Indonesia No. 23 of 2004 concerning PKDRT. From the results of the review process, the authors found data on the rise of domestic violence that occurred in Indonesia due to the dominance of men’s power relations against women and the law has set non-criminal sanctions for perpetrators of violence. It is based on a philosophical basis which states that justice and gender equality are part of human rights and all forms of violation must be punished.
Keywords: Violence, domestic violence, gender based violence, patriarchal ideology, human rights
Pendahuluan
Kekerasan masih sering terjadi di berbagai bidang kehidupan dan telah menjadi polemik global yang tidak kunjung selesai. Permasalahan yang ada tidak hanya datang dari sektor publik yang mencakup kekerasan pada skala besar, namun ironisnya kekerasan juga seringkali terjadi secara siginifikan di ranah domestik yang mencakup skala lebih kecil, terutama kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga (KDRT).
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dapat terjadi pada diri suami, istri, dan anak-anak. Akan tetapi, objek yang seringkali menjadi luapan tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan, baik sebagai istri ataupun anak. Perempuan tersebut kerapkali diposisikan sebagai kaum lemah yang tidak memiliki daya dan kekuatan sehingga menjadi rentan terhadap kekerasaan oleh suami. Persoalan ini yang kemudian menjadi kajian yang terus-menerus dilakukan, baik dalam skala nasional maupun internasional dalam rangka untuk mencari keadilan dan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi polemik ini.
Menurut data statistik catatan tahunan (CATAHU) Komisi Nasional (KOMNAS) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, kekerasan dalam rumah tangga selama kurun waktu 12 tahun, mulai dari tahun 2008-2019 berjumlah hampir tiga juta kasus[1], dengan rincian tahun 2008 ada 54,425 kasus, tahun 2009 ada 143,586 kasus, tahun 2010 ada 105,103 kasus, tahun 2011 ada 119,107 kasus, tahun 2012 ada 216,156 kasus, tahun 2013 ada 279,688 kasus, tahun 2014 ada 293,220 kasus, tahun 2015 ada 321,752 kasus, tahun 2016 ada 259, 150 kasus, tahun 2017 ada 384,446 kasus, tahun 2018 ada 406,178 kasus, dan tahun 2019 ada 431,471 kasus. Dari data di atas menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) atau delapan kali lipat.[2] Dari sekian KtP (Kekerasan Terhadap Perempuan) yang ada, pada tahun 2019 kekerasan banyak terjadi dalam ranah domestik atau personal, di antaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan dalam hubungan personal (hubungan pribadi/pacaran) yaitu sebesar 75% atau sebesar 11.105. Sementara posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik sebesar 24% (3,602) dan terakhir KtP di ranah negara sebesar 0,1% (12 kasus). Kekerasan dalam ranah personal secara konsisten menempati angka tertinggi dan tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan fisik yang berada di peringkat pertama mencapai 4,783 (43%) dan disusul kekerasan seksual di peringkat kedua mencapai 2,807 kasus (25%), psikis 2,056 (19%), dan ekonomi 1,459 (13%).[3]
Data survei di atas dihimpun dari tiga sumber, yaitu: 1) dari PN/Pengadilan Agama sejumlah 421,752 kasus, 2) dari Lembaga Layanan Mitra KOMNAS Perempuan sejumlah 14,719 kasus, dan 3) dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) sejumlah 1,419 kasus. Dari berbagai kasus yang diadukan ke KOMNAS Perempuan, 1,277 di antaranya adalah kasus berbasis gender dan 142 di antaranya kasus tidak berbasis gender.[4]
Berdasarkan data di atas, nampak jelas bahwa KtP dalam rumah tangga disebabkan oleh berbagai faktor, di antara yang paling berpengaruh adalah karena bias gender. Bias gender adalah bentuk ketidaksetaraan, ketimpangan, diskriminasi, dan inekualitas peran antara laki-laki dan perempuan karena beberapa faktor, paling tidak ada tiga faktor mendasar, antara lain: faktor biologis, ideologi patriarkis, dan interpretasi tekstualis terhadap ayat agama.[5]
Kekerasan dalam rumah tangga sangat berkorelasi dengan pola pikir bias gender yang mayoritas dialami oleh perempuan dan anak-anak. Beberapa hipotesa mayor menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi dan dialami oleh perempuan karena pemahaman bias gender.[6] Pemahaman bias gender tidak bisa dibiarkan terus menerus dan menjadi budaya pemikiran. Melalui kebijakan pemerintah yang ada, pemahaman bias gender harus mulai direduksi dan dieradikasi secara massal melalui berbagai usaha dan cara yang akomodatif, advokatif, dan preventif.
Di antara upaya preventif terhadap kekerasan dalam rumah tangga akibat bias gender adalah eradikasi (pemusnahan total) tradisi patriarkal dan formalisasi kebijakan imperatif dari pemerintah, seperti dibuatnya UU RI PDKRT No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Hukum positif yang termanifestasi dalam Undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dan landasan aktual dalam menegakkan aksi perdamaian dan perlindungan atas hak-hak pihak yang dirugikan, dalam hal ini adalah perempuan. UU RI PDKRT No. 23 tahun 2004 menerangkan bahwa perempuan juga bagian dari warna negara yang memiliki hak dan kebebasan untuk berpedapat dan memilih. Hak-hak perempuan secara yuridis dijamin dan dilindungi oleh hukum yang berlaku.
Bertolak dari landasan tersebut, maka penulis dalam tulisan ini merasa tertarik untuk menelaah dan mengeksplorasi secara mendalam tentang tindakan-tindakan kerasan terhadap perempuan akibat pemahaman bias gender yang terjadi dalam rumah tangga dan upaya-upaya preventif terhadap terjadinya kekerasan berbasis gender dengan menggunakan sudut pandang Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal ini perlu dilakukan agar dalam masyarakat tercipta pola pikir yang inheren dengan konsep ekualitas gender dan mampu membangun pola relasi peran laki-laki dan perempuan yang berkeadilan serta tidak diskriminatif.
Kekerasan Gender Dalam Rumah Tangga dan Ragam Permasalahan
Sebelum menuju pada pembahasan terkait dengan kekerasan gender dalam rumah tangga, penulis terlebih dahulu akan memulainya dengan memaparkan definisi umum tentang kekerasan. Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan sesuatu yang bersifat keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cidera atau meninggal, atau dapat menyebabkan kerusakan fisik.[7] Dalam bahasa Inggris, kekerasan disebut dengan violence. Secara etimologis, kata violence merupakan susunan dari kata “vis” yang berarti daya atau kekuatan dan “latus” yang berarti membaca. Jadi, yang dimaksud dengan violence adalah membawa kekuatan. Dalam Oxford Dictionary, violence didefiniskan dengan dua pengertian; violent behaviour that is intended to hurt or kill somebody, yaitu perilaku kekerasan yang dimaksudkan untuk melukai atau membunuh seseorang dan physical or emotional force and energy, yaitu kekuatan dan energi fisik atau emosinal.[8]
Secara terminologis, beberapa ahli mendefinisikan kekerasan sebagai serangan terhadap fisik dan mental. Hayati menjelaskan bahwa kekerasan pada dasarnya berbentuk perilaku verbal maupun non verbal yang dilakukan seseorang atau kelompok yang nantinya dapat menyebabkan efek negatif. Hal senada juga dikemukakan oleh Nurhadi, bahwa kekerasan adalah sebagai suatu tindakan paksaan baik secara persuasif maupun fisik.[9] Sementara dalam termonologi ahli fikih, kekerasan adalah bentuk perbuatan yang dapat menyakiti badan, namun tidak sampai menghilangkan nyawa seseorang, seperti menganiaya, menampar, memukul, melukai, dan seterusnya yang nantinya akan berdampak pada jasmani dan rohani.[10] Dengan demikian, maka kekerasan secara umum adalah segala bentuk tindakan negatif yang dilakukan terhadap pihak yang lain baik berupa intimidasi dalam bentuk verbal atau agresi fisik yang mampu menimbulkan kerugian, keresesahan, kesengsaraan serta dapat mengancam jiwa manusia.
Dilihat dari bentuknya, kekerasan memiliki beberapa ragam bentuk, antara lain:
- Kekerasan Fisik
Yaitu tindakan atau perbuatan secara sadar yang dapat mengakibatkan rasa sakit dan luka pada bagian tubuh. Kekerasan fisik umumnya dilakukan denga cara menganiaya, menampar, memukul, mencekik, menghantam, menendang, membakar, menggunakan senjata, menjambak, dan lain-lain.[11] Kekerasan fisik seringkali menjadi tujuan akhir dari seseorang karena adanya rasa kesal, tidak suka, benci, dan dendam yang sangat luar biasa terhadap orang lain.
- Kekerasan Psikis/Psikologis
Yaitu tindakan atau perbuatan secara sengaja yang dapat mengakibatkan rasa takut, khawatir, tidak berdaya, hilangnya motivasi, dan lain-lain. Kekerasan dalam bentuk ini seringkali dilakukan dengan memberikan ancaman dalam bentuk verbal yang dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, seperti ancaman yang mengandung unsur larangan, caci-maki, hinaan, bentakan, dan sumpah atas kondisi tertentu. Menurut hukum Islam, kekerasan psikis dalam rumah tangga sering terjadi dalam bentuk ila’. Yaitu perasaan enggan untuk memenuhi nafsu seksual seorang istri tanpa alasan syar’i dan dimaksudkan hanya untuk menyakitinya.[12]
- Kekerasan Seksual
Yaitu tindakan atau perbuatan secara sengaja yang dapat mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat diri. Hal-hal yang sering dilakukan dalam bentuk kekerasan seksual adalah menyentuh bagian intim yang tidak dikehendaki atau tanpa seizin orang yang bersangkutan, memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan kasar, mencoba melakukan pemerkosaan, pelecehan seksual dalam bentuk meraba, mencium, dan lain-lain.[13] Dalam referensi yang lain, kekerasan seksual juga biasanya disebut dengan marital rape. Yaitu istri yang memperoleh tindak kekerasan seksual suami dalam perkawinan atau rumah yang berwujud pemaksaan aktivitas seksual terhadap istri tanpa pertimbangan kondisi istri. Selain itu, dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) juga disebutkan bahwa kekerasan seksual itu meliputi: a) pelecehan seksual, b) eksploitasi seksual, c) pemaksaan kontrasepsi, d) pemaksaan aborsi, e) perkosaan, f) pemakasaan perkawinan, g) pemaksaan pelacuran, h) perbudakan seksual, i) penyiksaan seksual.
- Kekerasan Ekonomi
Yaitu tindakan suami yang tidak memberikan nafkah perawaran dan pemeliharaan sesuai denga hukum yang berlaku atau atas perjanjian antara suami dan istri tersebut. Selain itu juga termasuk penelantaran rumah tangga yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja secara layak di rumah atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Adapun kekerasan dalam rumah tangga memiliki ragam istilah yang berbeda dalam beberapa penelitian, di antaranya Johnson (2005), Babcock, Canady dan Eckhardt (2005) menggunakan istilah intimate partner violence dan domestic violence. Selain itu Williams (2002), Sechumaener dan Leonard (2005) menggunakan istilah aggression, Street, Grades dan Stafford (2007) menggunakan istilah harassement, sedangkan Worthen dan Sullivan (2005), Taylor dan Pittman (2005) menggunakan isitlah abuse. Namun, dalam tulisan ini, penulis akan lebih sering menggunakan istilah domestic violence.[14]
Domestic violence pada dasarnya dapat terjadi antara suami terhadap istri, istri terhadap suami, atau orangtua terhadap anak. Namun, polemik yang sering mengemuka adalah tentang kekerasan yang dilakukan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri). Satu di antara sekian banyak motif yang sering menjadi sebab terjadinya kekerasan di antara suami dan istri adalah persoalan gender. Dari fenomena tersebut, maka istilah kekerasan gender dapat diartikan dengan kekerasan yang datang dari persoalan gender, terutama persoalan bias gender antara peran laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial, politik, budaya, ekonomi, dan agama. Sehingga yang menjadi poros dari kajian kekerasan gender adalah perempuan. Sedangkan di antara faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam ruang polemik bias gender adalah a) faktor biologis, b) faktor ideologi patriarkis, c) interpretasi agama yang cenderung tekstualis.
Faktor biologis adalah faktor yang mengonstruk adanya pola pikir kodrati secara permanen. Perempuan diciptakan sebagai kaum yang lebih pantas untuk melakukan tugas rumah tangga, seperti memasak, mencuci, menyapu, dan mempunyai tugas bereproduksi atau melahirkan. Sebaliknya laki-laki diciptakan sebagai kaum yang memiliki fungsi untuk mencari nafkah keluarga, menjadi kepala rumah tangga, memberikan perlindungan dan seterusnya. Sehingga dalam perjalannya memunculkan paham bahwa perempuan (istri) sesuai kodratnya harus patuh dan tunduk kepada laki-laki (suami).
Faktor ideologi patriarkis adalah faktor yang melanggengkan pola pikir oposisi biner atas pengutamaan (superioritas) laki-laki daripada perempuan. Perempuan selalu dipandang lemah, penakut, intuitif, mudah menangis, dan lain-lain, sedangkan laki-laki dipandang kuat, pemberani, rasional, tegar, dan seterusnya. Sementara Asma Barlas mendefinisikan patriarki dalam dua pengertian yaitu sebagai tradisi kekuasaan ayah dan sebagai politik ketidaksetaraan gender yang didasarkan pada teori pembedaan jenis kelamin.[15] Dalam istilah yang lain, ada penekanan pada sifat maskulin pada diri laki-laki, dan sifat feminin dalam diri perempuan. Kondisi semacam ini, pada dasarnya bukan sifat kodrati manusia, melainkan sifat yang dapat berubah sesuai dengan kondisi dan keadaan. Faktor ini yang kemudian menyebabkan adanya bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan bahkan kekerasan.[16]
Faktor interpretasi tekstualis terhadap ayat agama adalah bentuk pemahaman final yang lebih berpihak pada dominasi laki-laki terhadap perempuan. Tidak ada pemahaman yang melibatkan upaya kontekstualisasi ayat, kompromisasi secara proporsional, komprehensivitas yang memadai, dan progesivitas yang multiperspektif. Pemahaman yang seperti ini hanya berorientasi pada ajaran fikih konservatif yang doktrinal dan cenderung mengusung ideologi hegemoni patriarkal.
Kekerasan terhadap perempuan sendiri menurut pasal 2 Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan adalah setiap perbuatan yang berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, psikis, atau seksual, termasuk ancaman tindakan tertentu, perampasan kemerdekaan secara sepihak baik dalam lingkup publik atau privat.[17] Menurut Muzda Mulia, kekerasan terhadap perempuan juga dikenal dengan istilah kekerasan berbasis gender (gender based violence) karena umumnya banyak terjadi pada perempuan. Referensi yang lain menyebutkan bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang dapat mengurangi dan menghilangkan hak dan kebebasan perempuan dalam meraih kesempatan atau peluang.
Adapun kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman melakukan perbuatan, pemkasaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[18]
KDRT dalam Perspektif Hukum Positif
Di samping hukum normatif, segala bentuk kekerasan juga menjadi perhatian yang cukup besar bagi pemerintah. Karena kekerasan apapun jenisnya merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan wajib dikenakan sanksi hukum. Oleh sebab itu, berkaitan dengan maraknya terjadi kekerasan di berbagai sektor, maka negara dalam hal ini pemerintah melalui badan legislatif, DRR RI telah merumuskan undang-undang yang digunakan sebagai payung hukum positif untuk menegakkan keadilan, keamanan, dan perlindungan bagi korban kekerasan di semua ranah bidang kehidupan, baik di sektor publik atau domestik. Secara umum undang-undang tersebut meliputi:
- KUHP Pasal 281-303 tentang Kejahatan Kesusilaan
- KUHP Pasal 310-321 tentang Penghinaan
- KUHP Pasal 324-337 tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
- KUHP Pasal 338-350 tentang Kejahatan Terhadap Nyawa
- KUHP Pasal 351-258 tentang Penganiayaan
- KUHP Pasal 368-371 tentang Pemerasan dan Pengancaman
- KHI Pasal 77-84 tentang Hak dan Kewajiban Suami dan Istri
- UU No. 23 Tahun 2002 yang telah menjadi UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
- UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
- RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS)
Selain beberapa undang-undang tersebut, dengan memperhatikan persoalan kekerasan dalam sektor domestik yang cukup memprihatinkan, pemerintah juga telah merumuskan undang-undang yang secara khusus mengatur tindak pidana kekerasan yang terjadi dalam wilayah rumah tangga (domestic area), yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT). Dalam undang-undang tersebut secara partikular berisi tentang persoalan-persoalan tentang tindak kekerasan yang sering terjadi dalam lingkup rumah tangga, terutama kekerasan yang tertuju pada perempuan, kekerasan yang didasarkan pada persoalan gender, dan kekerasan yang menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan.
Di samping undang-undang dalam skala nasional, persoalan mengenai hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan juga tercantum dalam ketentuan hukum internasional yang ada dalam undang-undang CEDAW (The Convention on Elimination of All Form of Discriminations Againts Women). CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita merupakan undang-undang hukum internasional yang telah ditetapakan Majelis Umum PBB melalui Komite Status Wanita pada tanggal 18 Desember 1979 dan mempunyai 30 butir pasal. Undang-undang ini juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan undang-undang No. 7 Tahun 1984 dan telah diratifikasi juga oleh 177 negara di dunia. CEDAW terbentuk berdasarkan rekomendasi dari Dewan ECOSOC (United Nations Economic and Social Council) yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, meliputi bidang sipil, budaya, ekonomi, politik, agama, dan sosial.[19] Hukum CEDAW ini kemudian yang menginspirasi terbentuknya UU RI PKDRT No. 23 Tahun 2004 dan selanjutnya dilakukan beberapa pengembangan sesuai dengan konteks keadaan yang ada di Indonesia.
Deksripsi Umum UU RI PKDRT No. 23 Tahun 2004
Pada awalnya, UU PKDRT diinisiasi oleh kelompok masyarakt sipil (CSO) pada tahun 1998-2003. Pada tanggal 16 September 2002 anggota komis VII DPR-RI menyampaikan usulan rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga kepada pimpinan DPR-RI. Proses pembahasan RUU ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: a) tahap I 1997-1998: konsolidasi, membangun kesepahaman, dan penyusunan draf awal, b) tahap II 1999-2000: sosialisasi dan advokasi, c) tahap III 2001-2003: sosialisasi dan advokasi dengan lembaga negara/kementrian, pada tahap ini JANGKAR (Jaringan Kerja Advokasi RUU anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang terbentuk dari inisiasi CSO 17 wilayah berubah menjadi JANGKA-PKTP.[20]
Pada tanggal 27 Mei 2003, ketua DPR RI mengirim surat kepada presiden untuk menunjuk salah satu menteri sebagai leading sector pembahasan RUU anti KDRT yang menjadi usul inisiatif dari DPR-RI. Hingga setahun kemudian, UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT akhirnya resmi diundangkan pada tanggal 22 September 2004. Undang-undang tersebut terdiri dari 56 pasal yang terbagi dalam bab-bab sebagai berikut:[21]
Bab I : Ketentuan Umum
Bab II : Asas dan Tujuan
Bab III : Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Bab IV : Hak-Hak Korban
Bab V : Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat
Bab VI : Perlindungan
Bab VII : Pemulihan Korban
Bab VIII : Ketentuan Pidana
Bab IX : Ketentuan Lain-Lain
Bab X : Ketentuan Penutup
Undang-undang ini adalah produk hukum khusus dari KUHP (lex specialist) yang secara spesifik mengatur dan menjadi perlindungan korban KDRT. Undang-undang ini perlu dirumuskan karena mengingat fakta di lapangan tentang tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat secara signifikan, baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikis atau psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi bahkan sudah menjurus pada tindak penganiayaan dan penyiksaan yang dapat menimbulkan rasa ketakutan dan penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang.
Reaktivasi UU RI PKDRT No. 23 Tahun 2004 sebagai Upaya Membangun Relasi dan Ekualitas Gender yang Berkeadilan: Sebuah Telaah Kritis
Hak Asasi Manusia Sebagai Landasan Filosofis
Hak asasi manusia (HAM) pada prinsipnya adalah hak universal yang melekat dan inheren dalam diri manusia. Hak asasi manusia berlaku sepanjang zaman, tidak terbatas waktu dan tempat. Setiap manusia yang terlahir di muka bumi memiliki hak-hak kemanusiaan yang tidak dapat dibagi-bagi, dibatasi, ditahan, bahkan dicabut dari diri manusia.[22] Oleh sebab itu, HAM pada dasarnya dimiliki oleh siapapun, tidak memandang jenis kelamin, usia, derajat, status, dan seterusnya. Laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, buruh, dokter, pejabat, dan lainnya memliki hak asasi manusia yang sama di mata hukum.
Secara konseptual, HAM dapat didasarkan pada keyakinan bahwa hak sebenarnya adalah anugerah secara alamiah dari Tuhan. Hak asasi manusia pada hakikatnya adalah hak kodrati yang bersumber dari Sang Pencipta manusia dan alam semeseta. Sementara bagi orang-orang yang menolaknya, mereka memandang bahwa hak asasi manusia merupakan manifestasi nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Sebagian mereka juga menganggap bahwa HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, kelompok yang terdiskriminasi, bahkan kelompok yang terancam eksistensinya.
Instrumentasi pemikiran hukum HAM di Indonesia secara historis pada mulanya berangkat dari beberapa dokumen yang muncul karena adanya gerakan revolusi sosial dalam rangka merespon adanya krisis HAM. Munculnya dokumen HAM seperti Charters, Declarations, Treaties di dunia adalah sebagai manifestasi dari kosmos dan konsekuensi etis dari adanya chaos, berupa pelanggaran HAM, konflik politik, revolusi sosial, dan sejenisnya. Setelah itu lahirlah logos berupa perangkat hukum. Dokumen-dokumen sejarah HAM yang dapat ditelusuri di antaramya Piagam Madinah 632, Magna Charta 1225, Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) 1776 di US, Declaration L’Homme Et Du Citoyen (Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara) 1789 di Prancis, UUD RI 1945, dan DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) 1948.[23] Dari dokumen-dokumen inilah selanjutnya Indonesia meratifikasi ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur persoalan HAM dalam wilayah yang lebih spesifik, seperti TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, UUD 1945 paska amandemen, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 tahun 2002 tentang pengadilan HAM, UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan RUU Pengapusan Kekerasan Seksual.
Dalam pandangan hukum, HAM umumnya mengatur hubungan negara dalam hal ini pemerintah dengan individu-individu masyarakat. Pemerintah mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun. HAM telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan dan diklasifikasikan ke dalam beberapa macam hak asasi manusia.
UUD 1945 yang mengalami amandemen sebanyak empat kali[24] memberikan pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan perlindungan HAM di Indonesia. Persoalan HAM terletak pada bab tersendiri dalam pasal 28 yang memiliki 26 butir ketentuan yang menjamin terhadap pemenuhan HAM.[25] Secara umum, paska amandemen, UUD 1945 secara komprehensif telah mencakup jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM dari hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebabasan sipil meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk memperoleh keadilan dan perlindungan, hak turut serta dalam pemerintahan dan kebebasan berpendapat, hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke ruang publik, seperti memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, dan hak atas pekerjaan. Di samping itu, undang-undang juga mengatur HAM kategori hak-hak kolektif mencakup kesetaraan gender yang secara spesifik juga harus didapatkan oleh perempuan dan anak.[26]
Kekerasan Gender sebagai Pelanggaran HAM
Kesetaraan dan keadilan gender pada gilirannya termasuk bagian dari proyek HAM yang terus-menerus diupayakan oleh negara. Kesetaraan gender adalah bagian dari hak asasi manusia yang bertujuan untuk menghapus adanya ketimpangan relasi peran antara laki-laki dan perempuan karena dasar pembedaan jenis kelamin di berbagai sektor kehidupan, meliputi sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Pembedaan tersebut kerapkali muncul karena beberapa faktor, di antaranya faktor biologis, interpretasi terhadap teks keagamaan, dan yang peling dominan adalah adanya faktor ideologi patriarkis.
Secara umum, ideologi patriarkis merupakan sebuah konstruk sosial dalam masyarakat yang menghendaki adanya dominasi superioritas laki-laki terhadap perempuan. Perempuan dipandang lemah dan diposisikan sebagai kaum minoritas dan inferioritas, sedangkan laki-laki adalah kaum yang mempunyai kekuasan tertinggi. Kondisi semacam ini pada gilirannya memunculkan banyak permasalahan sosial yang mengakibatkan konflik, perseteruan, perselisihan, bahkan kekerasan di dalam struktur interaksi laki-laki dan perempuan di berbagai sektor, baik sektor publik ataupun domestik. Terlebih lagi kekerasan yang terjadi di sektor rumah tangga. Dalam konteks seperti inilah, perlindungan dan keadilan terhadap hak asasi manusia dalam lingkup kesetaraan gender harus ditegakkan. Segala bentuk kekerasan berbasis gender harus dihapuskan dari seluruh lapisan masyarakat.
Hal demikian sebagaimana diatur dan diakomodir secara substansial dalam UU No. 23 Tahun 2004 PKDRT Bab I, Pasal I, Ayat 1-2 yang berbunyi:
- Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap perempuan yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis/psikologi, seksual, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
- Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Ayat tersebut menjelaskan adanya upaya-upaya yang harus dilakukan dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga dengan berpedoman pada ketentuan pasal-pasal yang ada di UUD RI 1945 Pasal 28 yang secara konseptual berbicara tentang hak asasi manusia. Segala bentuk kekerasan utamanya kekerasan gender dalam rumah tangga adalah pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Dalam UUD 1945 dijelaskan:[27]
Pasal 28 G: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak bebruat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28 H: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Dari landasan filosofis di atas, maka UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT ini pada prinsipnya dibuat dengan tujuan memberikan perlindungan dan keadilan bagi perempuan korban KDRT. UU tersebut juga mengatur tanggung jawab negara dalam konteks perlindungan dan keadilan tersebut. Dari penjabaran ayat dua, maka subtansinya bahwa UU ini mengakui: a) KDRT adalah pelanggaran HAM khususnya perempuan, b) KDRT adalah perbuatan yang seringkali terjadi karena adanya disfungsi relasi peran antara laki-laki dan perempuan, c) KDRT adalah tindak kriminal di mana pelaku perlu mendapat sangsi hukum dan korban berhak mendapatkan keadilan.
Dari penjelasan di atas, UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT ini adalah sebuah formulasi khusus hukum positif (lex specialist) yang dirumuskan berdasarkan pemikiran dan landasan dasar yang kuat, khususnya bertolak dari fenomena-fenomena diksriminasi, ketidakadlian, inekualitas gender yang semakin marak dan meningkat jumlahnya. Terlebih dalam sektor domestik (rumah tangga) yang setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Padahal pada esensinya, wilayah rumah tangga atau keluarga itu merupakan tempat pendidikan terbaik bagi setiap orang yang lahir di muka bumi. Sebagaimana ungkapan yang mengatakan bahwa keluarga adalah tempat paling awal di mana seseorang memperoleh pendidikan dan pengajaran sebelum nantinya melanjutkannya ke lembaga pendidikan formal. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Tempat yang semula harusnya memiliki fungsi dan tujuan untuk membangun kualitas dan integritas moral bangsa dari spektrum terkecil, justru harus berakhir menjadi tempat sumber dari segala keburukan, kesengsaraan, dan kerusakan, sebagaimana data yang telah dipaparkan dalam bab pendahuluan.
Kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis gender dalam rumah tangga yang terjadi agaknya perlu untuk dipahami secara mendalam. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang bentuk-bentuk kekerasan yang sering dialami oleh korban perempuan. Dari sekiap bentuk kekerasan, marital rape atau kekerasan seksual adalah bentuk kriminal yang sangat sering dilakukan oleh para lelaki dan menjadi bahan kajian yang sering diintensifkan karena melihat tingginya angka kekerasan seksual dalam beberapa tahun terakhir. Bentuk kekerasan seksual ini secara khusus diatur dalam pasal 5c dan pasal 8 UU No. 23 Tahun 2004 yang berbunyi:
Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 8: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 5 pada esensinya menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan yang kerap terjadi dalam sektor rumah tangga, meliputi a) kekerasan fisik, b) kekerasan psikis, c) kekerasan seksual, d) penelantaran ekonomi. Sementara pasal 8 menjelaskan bentuk kekerasan seksual yang terdiri dari: a) pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga, baik dari suami ke istri ataupun sebaliknya, b) pemakasaan hubungan seksual terhada salah seorang dalam rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial (diperjualbelikan). Yang menjadi pokok dari poin b adalah adanya perintah yang mengharuskan individu dalam rumah tangga untuk berhubungan intim dengan orang lain berdasarkan berbagai motif, salah satunya yang paling sering adalah itikad jual beli martabat kemanusiaan yang dilakukan oleh suami atas istrinya kepada orang lain.
Melansir data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, di antara kasus-kasus KS yang pernah dilaporkan berdasarkan pengalaman dan pengaduan ke KOMNAS Perempuan adalah: 1) Eksploitasi seksual oleh pacar ibu, 2) Kekerasan seksual terhadap anak oleh rekan bisnis Ibu di Medan, 3) Pencabulan oleh atasan suami di Markas Komando Resimen Induk Daerah Militer (Mako Rindam) XIV Hasanudin, 4) Pencabulan terhadap para mahasiswi oleh dosen di Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alaudin Makassar, dan 5) Perkosaan dan pencabulan oleh Ustadz Pondok Tahfidz Irsyadul Athfal, Bogor.[28]
Jika ditelaah lebih mendalam, problematika yang menjadi dasar tindakan KS adalah adanya relasi kuasa antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam berbagai status dan jabatan. Atau dalam istilah yang lain adanya marginalisasi dalam sebuah hubungan. Dari banyaknya kasus kekerasan seksual tersebut, KOMNAS Perempuan dalam CATAHU 2020 mengklasifikasikan jenis-jenis Kekerasan Seksual (KS) berdasarkan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan. Pendalaman dan pemahaman terhadap setiap kasus bertujuan untuk melihat secara lebih detail dan spesifik kasus-kasus yang nyata dialami korban dan diadukan ke KOMNAS Perempuan. Hal ini juga dilakukan untuk menyediakan mekanisme perlindungan yang komprehensif karena kompleksitas kasus-kasus KS yang melampaui ketersediaan hukumnya. Dampak dari minimnya payung perlindungan hukum mampu memicu impunitas, keberulangan bahkan frustasi para korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.[29]
Melihat banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, maka dalam upaya untuk mendukung dan menkonstitusionalkan tindakan pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan seksual secara lebih komprehensif, pemerintah merumuskan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Sekual) sebagai peraturan perundang-ndangan yang secara spesifik mengatur penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Sebagaimana dalam Bab I, Pasal I, Ayat 1-2 RUU PKS disebutkan:
- Bahwa kekerasan seksual adalah tindakan merendahkan, menghina, menyerang, dan perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender yang berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, atau politik.
- Penghapusan Kekerasan Seksual adalah segala upaya untuk mencegah terjadi Kekerasan Seksual, menangani, melindungi dan memulihkan Korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan Kekerasan Seksual.
Dalam penjelasan ayat 1, terdapat hipotesis mayor yang menyatakan bahwa sumber dari maraknya kekerasan seksual di Indonesia adalah inekualitas relasi kuasa atau relasi gender. Artinya, persoalan bias gender yang melanggengkan prinsip ideologi patriarkis menempati kedudukan pertama dalam hal tindakan kekerasan seksual dalam berbagai sektor, khususnya sektor domestik. Masih terdapat pola pikir dominasi superioritas laki-laki terhadap perempuan. Perempuan dipandang tidak memiliki daya dan kekuatan untuk melawan laki-laki. Dengan adanya fenomena tersebut, maka di sini pemerintah sebagai badan hukum selalu berupaya untuk menumpas dan memberantas kekerasan seksual terhadap perempuan melalui instrumentasi hukum dengan ancaman hukuman tindak pidana berat sebagaimana diatur dalam ayat 2 dan dijelaskan secara detail dalam pasal 87. Dalam pasal 87 diatur bahwa terdapat dua macam pidana; pokok dan tambahan. Pidana pokok meliputi pidana penjaran dan rehabilitasi khusus, sedangkan pidana tambahan meliputi: a) ganti kerugian, b) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, c) kerja sosial, d) pembinaan khusus, e) pencabutan hak asuh, f) pencabutan hak politik, dan g) pencabutan jabatan atau profesi.[30]
Berkaitan dengan hal yang sama, dalam rangka mewujudkan pembangunan negara yang berkelanjutan dan memberantas kekerasan dalam bentuk apapun akibat adanya pemahaman inekualitas gender, pemerintah juga telah meresmikan beberapa program pembangunan berkelanjutan yang terhimpun dalam proyek SGDs (Sustainable Development Goals) melalui kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). SGDs adalah kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan pada hak asasi manusia dan kesetaraan yang mendorong pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Secara umum, ada 17 program SDGs meliputi no poverty (tanpa kemiskinan), no hunger (zero kelaparan), good health and well-being (kehidupan sehat dan sejahtera, quality education (pendidikan yang berkualitas), gender equality (kesetaraan gender), clean water and sanitation (air bersih dan sanitas layak), affordable and clean energy (energy bersih dan terjangkau), decent work and economic growth (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), industry, innovation, and infrastructure (industry, inovasi, dan infrastruktur), reduced inequalities (berkurangnya kesenjangan), sustainable cities and communities (kota dan pemukiman yang berkelanjutan), responsible consumtion and production (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab), climate action (penanganan perubahan iklim), life below water (ekosistem lautan), life and land (ekosistem daratan), peace, justice and strong institution (perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh), dan partnership for the goals (kemitraan untuk mencapai tujuan). Di antara sekian program, yang menjadi sasaran utama adalah mewujudkan gender equality. Yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan dalam berbagai wilayah. Program gender equality ini terdiri dari beberapa buah pemikiran, di antaranya seperti menghakhiri segala bentuk diskriminasi, menghapuskan segala bentuk kekerasan, menghapuskan semua praktik berbahaya, menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan.[31]
Reaktivasi UU RI PKDRT No. 23 Tahun 2004 sebagai Upaya Membangun Relasi dan Ekualitas Gender yang Berkeadilan
Sebagai catatan terakhir, maka dalam upaya praktek dan implementasi UU No. 23 tahun 2004 diperlukan instrumen evaluasi kinerja yang mensyaratkan prinsip-prinsip uji cermat tuntas khususnya dalam penangan korban KDRT. Tujuannya adalah untuk memastikan tanggung jawab negara dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan bukan hanya oleh aktor negara namun juga oleh aktor non negara, di ranah publik dan domestik. Prinsip uji cermat tuntas tercantum dalam instrumen internasional seperti CEDAW dan khususnya sesuai dengan tujuan UU No. 23 Tahun 2004 yaitu a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, d) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dalam hal korban KDRT, implementasi prinsip uji cermat tuntas (due diligence) memastikan lima pilar utama, yaitu pencegahan, perlindungan korban, penuntutan, penghukuman pelaku, dan pemulihan korban. Secara teknis UU tersebut juga mengatur tentang aksesibilitas korban KDRT untuk mendapatkan penanganan dan pemulihan. Tupoksi dan koordinasi para pemangku kepentingan, infrastruktur diperlukan dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban KDRT.
Dalam rangka merealisasikan uji cermat tuntas tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu dalam memastikan kepatuhan negara dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, antara lain:[32]
- Ratifikasi instrumen HAM internasional
- Jaminan konstitusi dalam hal kesetaraan gender
- Tersedianya perangkat kebijakan tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan
- Sensitifitas gender aparat penegak hukum dalam mengangani kekerasan terhadap perempuan
- Tersedia dan terbukanya akses layanan bagi korban kekerasan
- Tersedianya saran komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan terhadap perempuan
- Tersedianya data statistik kekerasa terhadap perempuan.
Dengan demikian, maka persoalan tentang pencegahan dan perlindungan dari kekerasan gender dalam semua ranah, baik publik atau privat sudah seharusnya menjadi perhatian bagi semua lapisan masyarakat, baik dari kalangan akademisi, intelektual, pemerintah, maupun masyarakat untuk ikutserta dalam mewujudkan stuktur sosial yang aman, adil, dan sejahtera. Dengan berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan hukum positif yang telah diuraikan sebelumnya, semua episentrum pemerintahan beserta seluruh masyarakat berupaya untuk mereaktivasi dan mereaktualisasi nilai-nilai keadilan dan equalitas gender yang termuat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan gender yang berkeadilan melalui beberapa langkah, di antaranya:
- Menjadi pribadi yang mampu berfikir secara kritis dan kontekstual.
- Memahami narasi keagamaan secara holistik dengan mengekstrasi nilai-nilai universal yang ada.
- Memahami ketentuan hukum positif yang mengatur Hak Asasi Manusia (HAM) dan persoalan gender, khususnya kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam wilayah rumah tangga.
- Mereduksi dan merekonstruksi paradigma terkait dengan sebab-sebab yang menimbulkan permasalahan gender, seperti relasi kuasa, ideologi patriarkis, diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan.
- Mengadvokasi seluruh lapisan masyarakat dengan memberikan wawasan hukum gender dan ragam permasalahan yang ada di Indonesia.
- Bekerja sama dengan lembaga pemerintah untuk memberantas kekerasan dalam ranah publik dan domestik, seperti KOMNAS Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppa), Kementerian PPN dan lain-lain
- Ikut mensukseskan 17 program SDGs yang telah dicanangkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang proporsional.
–
Penutup
Fenomena kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tajam dari tahun ke tahun. Kekerasan yang terjadi tidak hanya memakan korban dalam wilayah publik yang berskala besar, namun ironisnya kekerasan juga sering menyerang korban di wilayah domestik, khususnya lingkungan keluarga atau rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk kekerasan gender yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya paling berpengaruh adalah faktor ideologi patriarkis yang mengakibatkan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan atas dasar pembedaan jenis kelamin, peran, hak, kewajiban, dan atribut sosial yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan gender dan upaya penghapusannya diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Kekerasan gender meliputi: a) kekerasan fisik, b) kekerasan psikis, c) kekerasan seksual, dan d) penelantaran rumah tangga dalam aspek ekonomi. Dari data yang ada, penulis menemukan data bahwa maraknya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Indonesia karena adanya dominasi relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan. Oleh sabab itu, sebagai bentuk pencegehan dan penghapusan kekerasan, undang-undang telah menetapkan sanksi tidak pidana kekerasan bagi para pelaku. Hal didasarkan pada landasan filosofis yang menyatakan bahwa keadilan dan kesetaran gender adalah bagian dari HAM dan semua bentuk pelanggarannya wajib dihukum.
Daftar Pustaka
Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami Mukarram bin al-Qanun al-Wad’i,
Maktabah Dar Al-Urubah, 1963
Abu al-A’la al-Mawdudi, Huquq al-Zawjayn, terj. Abu Amir Izza Rasyid Ismail,
Menjaga Keutuhan Rumah Tangga Islami dengan Menjaga Hak Suami Istri,
Yogyakarta: Absolut
Anugriaty Indah Asmarany, Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Jurnal Psikologi, Volume 35, No. 1, Tahun 2015
Artidjo Alkostar, Penegakan Hukum Kasus HAM, Makalah Mata Kuliah Sistem
Perlindungan HAM di Magister Fakultas Hukum UII, tahun 2010
Asma Barlas, Believing Woman In Islam: Unreading Patriarchal Interpretation Of
The Qur’an, Austin: University of Texas Press, 2002
Azmiani dan Ratna Supradewi, Hubungan Sikap Laki-Laki Terhadap Kesetaraan
Gender dengan Kekerasan Dalam Pacaran, Jurnal Proyeksi, Volume 10, No. 1
Defi Uswatun Hasanah, Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam
Pandangan Hukum, Jurnal Harkat: Media Komunikasi Islam Tentang Gender
dan Anak, Volume 2, No. 12, Tahun 2016
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London:
Cornel University Press, 2003
Kementerian PPN/Bappenas, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tentang Kesetaraan
Gender, http://sdgsindonesia.or.id/, diakses pada 12 Mei 2020 pukul 11.00 WIB
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Instrumen Monitoring dan
Evaluasi Implementasi UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Jakarta: Komnas Perempuan, 2016
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Meningkat:
Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi
Perempuan dan Anak Perempuan, Jakarta: Komnas Perempuan Terhadap
Perempuan Tahun 2020
Kurnia Muhajarah, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga:
Perspektif Sosio-Budyaa, Hukum, dan Agama, Jurnal SAWWA Volume 11, No. 2
Tahun 2016
- Syafi’ie, Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM
di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi, Jurnal KOnstitusi, Volume 9, No.
4, Tahun 2012
Majda El-Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Jakarta: Rajawali Press, 2000
Mansour Fakih, “Gender Sebagai Analisis Sosial” Jurnal Analisis Sosial, Edisi 4,
Tahun 1996
Muchsin, “Peranan Putusan Hakim pada Kekerasan dalam Rumah Tangga”, dalam
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXII No. 260 Juli, 2007
Mulyani Mudis Taruma, Agama Melawan KDRT Studi Lembaga- Lembaga
Keagamaan Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2012
Nurhadi, Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Perempuan, Yayasan Jurnal
Perempuan, Jakarta: 2002
Oxford Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1995
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor …. Tahun ….. Tentang
Penghapusan Kekerasan Seksual, https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-
20170201-043128-3029
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan
Pengertiannya Yang Klasik pada Masa-Masa Awal Perkembangannya, dalam
Toleransi dan Keragaman: Visi untuk Abad ke-21 Kumpulan Tulisan tentang Hak
Asasi Manusia, Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Surabaya dan The Asia
Foundation, 2003
Sri Hastuti PS, Perlindungan HAM dalam Empat Konstitusi Di Indonesia, Jurnal
Magister Hukum No. 1 Vol. 1 Januari 2005, Universitas Islam Indonesia
Tim Pengkajian Hukum, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Optional Protocol
CEDAW Terhadap Hukum Nasional yang Berdampak Pada Pemberdayaan
Perempuan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM,
2007
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
W.J.S Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2012
[1] Setelah dikalkulasi dari tahun 2008 sampai 2019, kasus mencapai 2,978,282 KTP.
[2] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Meingkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan, (Jakarta: Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019), h. 7
[3] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Meingkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan….., h. 10
[4] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Meingkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan….., h. 1
[5] Mulyani Mudis Taruma, Agama Melawan KDRT Studi Lembaga- Lembaga Keagamaan (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2012) hlm. 57
[6] Anugriaty Indah Asmarany, Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal Psikologi, Volume 35, No. 1, Tahun 2015, h. 8
[7] W.J.S Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2012), h.
425
[8] Oxford Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 1328
[9] Nurhadi, Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, (Jakarta: 2002), hlm. 72
[10] Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami Mukarram bin al-Qanun al-Wad’i, (Maktabah Dar Al-Urubah, 1963), h. 204
[11] Azmiani dan Ratna Supradewi, Hubungan Sikap Laki-Laki Terhadap Kesetaraan Gender dengan Kekerasan Dalam Pacaran, Jurnal Proyeksi, Volume 10, No. 1, h. 53
[12] Abu al-A’la al-Mawdudi, Huquq al-Zawjayn, terj. Abu Amir Izza Rasyid Ismail, Menjaga Keutuhan Rumah Tangga Islami dengan Menjaga Hak Suami Istri, (Yogyakarta: Absolut), h. 26
[13] Azmiani dan Ratna Supradewi, Hubungan Sikap Laki-Laki Terhadap Kesetaraan Gender dengan Kekerasan Dalam Pacaran, Jurnal Proyeksi, Volume 10, No. 1, h. 53
[14] Anugriaty Indah Asmarany, Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal Psikologi, Volume 35, No. 1, Tahun 2015, h. 1
[15] Asma Barlas, Believing Woman In Islam: Unreading Patriarchal Interpretation Of The Qur’an, (Austin: University of Texas Press, 2002), h. 200 dalam Defi Uswatun Hasanah, Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Pandangan Hukum, Jurnal Harkat: Media Komunikasi Islam Tentang Gender dan Anak, Volume 2, No. 12, Tahun 2016, h. 111-116
[16] Kurnia Muhajarah, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga: Perspektif Sosio-Budyaa, Hukum, dan Agama, Jurnal SAWWA Volume 11, No. 2 Tahun 2016, h. 133, lihat juga dalam Muchsin, “Peranan Putusan Hakim pada Kekerasan dalam Rumah Tangga”, dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXII No. 260 Juli 2007, h. 23, lihat juga dalam Mansour Fakih, “Gender Sebagai Analisis Sosial” Jurnal Analisis Sosial, Edisi 4, Tahun 1996, h. 13-15
[17] Defi Uswatun Hasanah, Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Pandangan Hukum, Jurnal Harkat: Media Komunikasi Islam Tentang Gender dan Anak, Volume 2, No. 12, Tahun 2016, h. 110-116
[18] Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
[19] Tim Pengkajian Hukum, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Optional Protocol CEDAW Terhadap Hukum Nasional yang Berdampak Pada Pemberdayaan Perempuan, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM, 2007), h. 1
[20] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Instrumen Monitoring dan Evaluasi Implementasi UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), (Jakarta: Komnas Perempuan, 2016), h. 1
[21] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Instrumen Monitoring dan Evaluasi Implementasi UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), (Jakarta: Komnas Perempuan, 2016), h. 2
[22] Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, (Ithaca and London : Cornel University Press, 2003), h. 7-12 lihat juga dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan Pengertiannya Yang Klasik pada Masa-Masa Awal Perkembangannya, dalam Toleransi dan Keragaman: Visi untuk Abad ke-21 Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia, (Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Surabaya dan The Asia Foundation, 2003), h. 4
[23] Artidjo Alkostar, Penegakan Hukum Kasus HAM, Makalah Mata Kuliah Sistem Perlindungan HAM di Magister Fakultas Hukum UII, tahun 2010 dalam M. Syafi’ie, Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi, Jurnal KOnstitusi, Volume 9, No. 4, Tahun 2012, h. 684. Baca juga Majda El-Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Rajawali Press, 2000, h. 7-10.
[24] Empat kali amandemen pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002
[25] Sri Hastuti PS, Perlindungan HAM dalam Empat Konstitusi Di Indonesia, Jurnal Magister Hukum No. 1 Vol. 1 Januari 2005, Universitas Islam Indonesia, h. 21-23
[26] M. Syafi’ie, Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi, Jurnal KOnstitusi, Volume 9, No. 4, Tahun 2012, h. 688
[27] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA Pasal 28.
[28] Tim Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2020), h. 43-48
[29] Tim Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan…, h. 43
[30] Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor …. Tahun ….. Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, h. 25, https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf diakses pada 11 Mei 2020 pukul 20.30 WIB
[31] Kementerian PPN/Bappenas, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tentang Kesetaraan Gender, http://sdgsindonesia.or.id/, diakses pada 12 Mei 2020 pukul 11.00 WIB
[32] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Instrumen Monitoring dan Evaluasi Implementasi UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), (Jakarta: Komnas Perempuan, 2016), h. 2