Konstruksi Epistemologi Ilmu Al-Bayan: Memahami Hakikat, Majaz, Isti’arah, Dan Kinayah Dalam Bingkai Metode Tafsir Al-Qur’an

Kajian tentang al-Qur’an dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan yang cukup dinamis, khususnya di seputar penelaahan, penafsiran, dan pemahaman terhadap makna-makna bahasa al-Qur’an seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia yang terjadi di era modern ini. Tidak jarang kemudian aktivitas tersebut melahirkan beragam corak penafsiran yang kemudian banyak mewarnai kelompok-kelompok tertentu untuk mencari kebenaran-kebenaran ideologis-otoritatif yang disuarakan dalam wujud gerakan-gerakan yang masif.[1]
Hal demikian sangat berpotensi untuk terjadi karena eksistensi al-Qur’an yang dipandang sebagai kitab suci akan selalu aktif dan operatif dalam menghadirkan nilai-nilai spiritual dan moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Al-Qur’an sebagai kitab wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi, mengandung ajaran-ajaran formalistik yang berisi norma-norma teologis-doktriner untuk mengatur transimisi sinyal religius antara makhluk dan tuhannya, dan di samping itu, al-Qur’an juga sebagai sumber pedoman dan petunjuk hidup (hudan) yang akan mengatur hubungan interaksi horizontal antara manusia dengan manusia yang lain serta mengantarkan manusia menuju jalan yang terbaik.[2]
Selain itu, al-Qur’an sebagai kitab sastra yang mengandung estetika dan keistimewaan bahasa yang tinggi juga mendorong para intelektual muslim untuk melakukan kajian-kajian terhadap kemukjizatan al-Qur’an dari segi bahasa yang ditunjukkan kepada masyarakat Arab lima belas abad yang lalu. Kemukjizatan yang dihadapkan kepada mereka waktu itu, bukan dari segi iyarat ilmiah atau pemberitaan hal yan metafisik, melainkan struktur redaksi yang begitu indah dan mempesona. Betapa tidak, satu huruf dalam al-Qur’an mampu melahirkan keserasian bunyi dalam sebuah kata, dan kumpulan kata akan membentuk keserasian irama dalam rangkaian kalimat, dan juga kumpulan kalimat akan melahirkan keselarasan irama dalam sebuah ayat.[3]
Jika dipahami secara mendalam dari segi stuktur, al-Qur’an seringkali menggunakan kalimat yang berbeda untuk memberikan satu makna tertentu, atau menggunakan struktur kalimat yang sama untuk situasi dan kondisi yang berbeda, sehingga kadang tampak terlihat ada deviasi dari aspek tata bahasa yang baku. Dalam pemilihan kata misalnya, al-Qur’an menggunakan beberapa referensi kata yang memiliki arti yang sama dalam bahasa Indonesia, seperti kata “insan”, “bashar”, dan “nas”, bila semua kata itu diterjemahkan maka artinya “manusia”. Yang menarik adalah kata-kata itu tidak mengindikasikan makna sama yang definitif, bahkan dalam penerapannya kata-kata tersebut mengandung krakter makna yang berbeda-beda dalam konteks pembicaraan tertentu.[4]
Adanya fenomena-fenomena pemilihan kata dan kalimat dalam al-Qur’an itulah yang salah satunya menginspirasi lahirnya kajian linguistik dan sastra al-Qur’an, di antaranya adalah kajian yang sangat popular dalam kalangan pemerhati al-Qur’an yaitu ilmu balaghah. Ilmu balaghah merupakan salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang secara khusus mempelajari tentang makna, gaya bahasa, dan keindahan stuktur bahasa al-Qur’an. Ilmu balaghah sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ilmu al-ma’ani, ilmu al-bayan, dan ilmu al-badi’.
Dalam upaya untuk menggali makna-makna al-Qur’an yang dimuat dalan redaksi gaya bahasa yang cukup unik, maka penulis dalam makalah ini akan mencoba untuk mengeksplanasi dan mengelaborasi satu pokok kajian tentang konstruksi epistemologi ilmu al-bayan dalam ilmu balaghah yang digunakan untuk memahami dan menafsirkan lafadz-lafadz dalam al-Qur’an secara menyeluruh. Secara terperinci di dalam makalah ini akan dibahas tentang konsep hakikat, majaz, isti’arah, kinayah, dan al-wujuh wa an-nadzair dalam bingkai metode tafsir al-Qur’an.
Ilmu al-Bayan dalam etimologi Arab adalah al-Kasyf wa al-Idlah yang berarti sebuah penyingkapan dan penjelasan. Sedangkan dalam terminologi sastra Arab merupakan kumpulan dasar atau kaidah yang dengannya diketahui suatu makna dengan berbagai gaya bahasa yang berbeda serta dengan selalu melihat konteks situasi dan kondisi yang melingkupinya.[5]
قال أحمد الهاشمي: علم البيان في اصطلاح البلغاء: أصول وقواعد يعرف بها إيراد المعنى الواحد بطرق يختلف بعضها عن بعض في وضوح الدلالة على نفس ذلك المعنى، ولا بد من اعتبار المطابقة لمقتضى الحال دائما.
Maka, ilmu al-Bayan esensinya adalah seni yang berupa cara-cara tertentu untuk memahami sesuatu. Dalam kaitannya dengan usaha menafsirkan al-Qur’an, maka ilmu al-Bayan adalah sebagai cara atau metode linguistik untuk menafsirkan ayat-ayat yang tidak mudah dipahami secara eksplisit sehingga kemudian harus digali lebih mendalam untuk memperoleh makna yang holistik dan sesuai dengan konteks situasi dan kondisi melalui gaya bahasa yang ditawarkan oleh ilmu al-Bayan meliputi hakikat dan majaz, taysbih, isti’arah dan kinayah. Sebagaimana analogi yang dinyatakan Qallash bahwa ilmu balaghah adalah layaknya aktivitas “menjahit”, ilmu al-Ma’ani hadir secara terstruktur untuk mengetahui “ukuran badan” seseorang, ilmu al-Bayan berfungsi untuk menentukan model atau jenis jahitan, apakah model jahitan baju, jubah, ataupun celana.[6] Sebagai contoh, kalimat إن كرم رسول الله صلى الله عليه وسلم sesungguhnya dapat dijelaskan dengan beberapa varian gaya bahasa yang fasih, tentunya dengan kadiah yang telah ditawarkan oleh ilmu al-Bayan seperti dalam tabel berikut ini:[7]
Gaya Bahasa | Bentuk Ujaran |
Al-Hakikat al-Mujarrradah | الرسول كريم |
Al-Hakikah al-Musyabbahah | الرسول كالبحر كرما وجودا |
Al-Majaz | زرنا في المدينة بحر الجود والكرم |
Al-Kinayah | رسول الله قد ملك جزيرة العرب، وكثبرا ما بات طاويا |
Hakikat dan Majaz dalam Tinjauan Ilmu al-Bayan
Hakikat secara etimologis adalah sesuatu yang benar atau bermakna tetap dalam menentukan sebuah kebenaran.[8] Sedangkan secara terminologis, menurut ulama ushul fikih hakikat adalah lafadz sebenarnya yang digunakan dalam konteks di mana ia berada, baik dalam ruang linguistik, kajian tentang hukum syariat, kajian urf (keseharian), dan istilah-istilah tertentu. Syeikh Abu Yasr menambahkan bahwa hakikat pada awalnya digunakan dalam arti yang ditetapkan oleh pengguna bahasa pada saat terlintas pertama kali dalam pikiran. Dalam ruang kebahasaan, yang menggunakan hakikat dalam kajian bahasa adalah para ahli bahasa, seperti manusia sebagai pelaku yang berbahasa, ilmuwan, dan seterusnya, dalam kajian produksi hukum syariat yang dibuat dari unsur hakikat adalah aturan tentang shalat dalam beribadah, puasa, dan lain sebagainya.[9] Akhdari dalam Taisir al-Balaghah menjelaskan bahwa hakikat merupakan suatu lafadz yang digunakan untuk menunjukkan makna yang sebenarnya. Hal demikian dapat terjadi karena tidak ditemukan adanya penghalang atau qarinah yang mengharuskan untuk berpaling ke makna majaz atau kiasan.[10] Misalnya, النهر يجري مستقيما من منبعه إلى صبه.
Penjelasan mengenai hakikat yang berpotensi untuk menghasilkan berbagai ruang makna juga diperkuat oleh Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa ada tiga kemungkinan makna sari satu kata, antara lain:
- Hakikat Lughawiyah (Pengertian Kebahasaan)
Yaitu makna kalimat yang sejak awal ditetapkan oleh pengguna bahasa. Makna yang dapat langsung dipahami tanpa perlu mencari penghalang atau hubungannya dengan yang lain, seperti kata “pena” yang langsung bisa dipahami dalam arti “alat untuk menulis”.[11]
2. Hakikat ‘Urfiyah (Pengertian sehari-hari)
Yaitu kalimat yang berorientasi pada makna khusus yang telah popular dalam kehidupan sehari-hari. Makna ini tidak lagi sepenuhnya sama dengan apa yang pada umumnya ada dalam makna kebahasaan, dapat berpotensi untuk memberikan makna yang lebih luas, atau juga dapat berpeluang untuk menyempit. Misalnya, kata fiqh yang dalam makna kebahasaan pada mulanya berarti sebuah pemahaman secara umum, lalu mengalami penyempitan yang dibatasi pemakaian sehari-hari menjadi pengetahuan tentang Hukum Islam, atau kata ulama yang pada mulanya digunakan dalam arti sekumpulan orang (plural) yang memiliki pengetahuan dalam bidang apapun, lalu dipersempit dalam pemakaian sehari-hari yaitu pakar dalam bidang ilmu agama. Kedua makna ini lahir karena faktor kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.[12]
3. Hakikat Syar’iyyah (Pengertian Hukum Agama)
Yaitu makna yang digunakan oleh bahasa syariat/agama, seperti kata Allah, shalah, zakah, shaum, shidaq, dan lain-lain. Makna syariat tidak jarang juga mempersempit makna kebahasaan, demikian juga makna sehari-hari yang digunakan dan dipahami masyarakat. Dalam kaitannya dengan ketiga makna hakikat tersebut, ulama telah berkonsensus dalam menentukan kaidah untuk memahami Al-Quran dan Hadis yaitu harus mendahulukan Hakikat Syar’iyah, jika tidak ditemukan makna yang tidak lurus dengannya, maka pemahaman diarahkan ke makna Hakikat ‘Urfiyah, jika masih tetap tidak ditemukan makna yang selaras, maka pilihan terakhir adalah menggunakan makna Haikat Lughawiyah.[13]
Dalam persoalan makna hakikat, memang juga tidak bisa dipungkiri bahwa bisa jadi ulama berbeda pendapat dalam menentukan makna hakikat, bahkan berbeda dalam menentukan makna hakiki dan mana pula yang syar’i. Kata nikah misalnya. Beberapa ulama berbeda dalam menentukan apakah haikat makna nikah itu ‘aqd (akad) atau hubungan seks.
Adapun majaz secara etimologis berakar dari kata tajawaza (تجاوز) yang berarti melampaui batas. Majaz juga didefinisikan sebagai tempat untuk berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain, atau dapat dikatakan seperti “jembatan”. Sedangkan dalam terminologi arab, majaz merupakan salah satu gaya bahasa yang dilakukan dengan mengalihkan sebuah makna dari satu lafadz ke makna yang lain berdasarkan indikator atau sebab yang mendukung pengalihan makna tersebut.[14] Qallash dalam Taisir al-Balaghah juga menambahkan bahwa majaz memungkinkan untuk digunakan jika dalam kalimat tersebut terdapat apa yang disebut dengan qarinah (ada yang menghalangi penggunaan lafadz tersebut dari makna hakiki), sehingga pengalihan makna dalam majaz kemudian disebabkan oleh apa yang disebut dengan ‘alaqah (kesesuaian makna hakiki dengan makna majazi).[15]
Sebagaimana contoh, kata أسد dalam bahasa Arab yang sebenarnya memiliki arti hewan liar yang mempunyai gigi taring dan cakar yang tajam. Jika definisi ini berakhir dalam batas makna denotatif, maka hal demikian dapat disebut dengan makna hakiki asli, namun jika yang dikehendaki adalah memalingkan makna dari yang sebenarnya menuju makna yang lain karena adanya qarinah, maka kata أسد yang dimaksudkan adalah seorang panglima perang, Hamzah Radliyallahu ‘Anhu. Ini kemudian apa yang disebut dengan majaz lughawi. Misalnya kalimat, لقد قتل … أسد يوم أحد كثيرا من المشركين, kata أسد dalam kalimat tersebut bermakna seorang panglima perang, Hamzah, yang mengindikasikan bahwa gaya bahasa yang dipakai adalah majaz lughawi dengan adanya (‘alaqah musyabahah), dan qarinah yang mencegah dari pemaknaan secara hikiki adalah lafadz “yauma uhud” yang sangat logis tidak ada أسد dalam perang Uhud.[16]
Selain majaz lughawi, Quraish Shihab dalam bukunya, menyebutkan ada pembagian majaz yang kedua, yaitu majaz al-isnad (مجاز الإسناد) atau majaz ‘aqliy (مجاز عقلي). Majaz al-isnad adalah majaz yang disandarkan kepada satu aktivitas atau yang serupa dengannya, kepada sesuatu selain pelakunya, disebabkan adanya keterkaitan dalam penisbahan antara kata yang digunakan dan makna yang dimaksudkan. Keterikatan tersebut dalam berwujud dalam beberapa kategori, di antaranya:[17]
- Waktu dan peristiwanya
Misalnya dalam QS. Al-Muzammil (73):17 yang berbunyi:
فَكَيْفَ تَتَّقُوْنَ اِنْ كَفَرْتُمْ يَوْمًا يَّجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيْبًاۖ
“Lalu bagaimanakah kamu akan dapat menjaga dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban”. Menurut Quraish Shihab, sebenarnya bukan “hari” dengan makna keseharian yang dikehendaki, melainkan yang menjadikan mereka demikian adalah peristiwa ngeri yang terjadi di hari itu.
2. Sebagian yang bermakna seluruhnya
Misalnya dalam firman Allah QS. Ghafir (40): 28 yang berbicara tentang nasihat seorang mukmin dari keluarga Fir’aun tentang ancaman Nabi Musa kepada mereka,
وَاِنْ يَّكُ صَادِقًاوَاِنْ يَّكُ صَادِقًا يُّصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِيْ يَعِدُكُمْ..
“…dan jika dia seorang yang benar, nis-caya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Yang dimaksud sebagian dalam ayat tersebut adalah makna keseluruhan.
3. Keseluruhan yang bermakna sebagian
Misalnya dalam firman Allah QS. al-Hajj (22): 27 yang berbicara tentang perintah Haji untuk manusia,
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”. Ayat tersebut secara makna tekstual berlaku untuk seluruh umat manusia, namun sebenarnya yang dikehendaki ayat adalah makna sebagian dari keseluruhan.
4. Menyebut akibat, namun yang dimaksud adalah sebabnya, dan sebaliknya.
Misalnya dalam firman Allah QS. Hud (11): 20 yang berbicara tentang turunnya rezeki,
هُوَ الَّذِيْ يُرِيْكُمْ اٰيٰتِهٖ وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ رِزْقًا ۗوَمَا يَتَذَكَّرُ اِلَّا مَنْ يُّنِيْبُ
“Dialah yang memperlihatkan tanda-tanda (kekuasaan)-Nya kepadamu dan menurunkan rezeki dari langit untukmu. Dan tidak lain yang mendapat pelajaran hanyalah orang-orang yang kembali (kepada Allah)”. Yang dimaksud adalah hujan, karena rezeki akibat turunnya hujan.
5. Menyatakan telah terjadi, tetapi maksudnya hampir terjadi
Seperti firman-Nya dalam QS. Al-Ma’idah (5): 6,
اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُم..….
“Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu”. Walaupun redaksi ayat menggunakan kata kerja bentuk madhi (lampu) yang harusnya bermakna sudah atau telah dilaksanakan, namun maksudnya adalah akan segera melaksanakan shalat, bukan sesudahnya.
Tasybih dan Isti’arah dalam Tinjauan Ilmu al-Bayan
Tasybih (التشبيه) dari segi bahasa berarti (التمثيل) penyerupaan. Al-Hasyimi dalam Jawahir al-Balaghah menjelaskan bahwa tasybih adalah gaya bahasa pertama yang menunjukkan tabiat untuk menjelaskan makna. Dalam istilah yang lain, tasybih merupakan bentuk gaya bahasa yang paling popular digunakan dalam upaya memahami makna.[18] Dalam khazanah susastra Arab ia adalah penyerupaan dua hal atau lebih dalam satu sifat pada dirinya. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan perbandingan antara satu objek dengan objek yang lain dalam wujud keserupaan yang sama dengan menggunakan berbagai macam adat at-tasybih.[19] Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh ulama ilmu al-Bayan bahwa tasybih merupakan upaya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu dalam wujud ruang makna yang sama dengan huruf-huruf tasybih yang telah diketahui, seperti contoh, العلم كالنور في الهداية, ilmu menyerupai cahaya dalam satu bingkai makna yang sama yaitu memancarkan sinar yang terang, dalam contoh lain misalnya علي كالأسد في الجرأة, Ali yang menyerupai singa dalam satu makna karakter yang sama, yaitu keberanian.
Untuk membentuk gaya bahasa tasybih diperlukan beberapa unsur (rukun), antara lain:[20]
- Al-Musyabbah, yaitu objek yang diserupakan, seperti kata العلم dan علي
- Al-Musyabbah bih, yaitu dasar yang menjadi objek keserupaan, seperti kata النور dan أسد
- Wajh al-Syibh, yaitu sifat yang mendasari keserupaan antara dua objek, seperti kata في الهدالة dan في الجرأة
- Adat at-Tasybih, yaitu huruf-huruf yang digunakan dalam gaya bahasa tasybih, seperti الكاف، كأن، مثل، شبه، يحكي.
Dalam pembentukan gaya bahasa tasybih ada dua unsur wajib yang harus digunakan, yaitu al-musyabbah dan al-musyabbah bih. Jika salah satu di antara keduanya itu dihilangkan, maka tidak disebut dengan tasybih, melainkan isti’arah – yang akan dibahas selanjutnya, sedangkan untuk wajh as-syibh dan huruf tasybih boleh untuk dihilangkan, bahkan dalam aplikasiannya sangat sering tidak memakai wajh as-syibh dan huruf tasybih.
Berdasarkan dua unsur wajh as-syibh dan huruf tasybih, perlu diketahui beberapa pembagian jenis tasybih sebagaimana yang dipaparkan dalam tabel berikut:
Bentuk Kalimat | Keadaan Unsur Tasybih | Jenis Tasybih |
علي أسدٌ جرأةَ | محذوف الأدة | تشبيه مؤكد |
علي كالأسد | محذوف وجه الشبه | تشبيه مجمل |
عليٌ أسدٌ | محذوف الأدة و وجه الشبه | تشبيه بليغ |
سرنا في ليل بهيم كأنه البحر ظلاما وإرهابا | مذكور الأداة | تشبيه مرسل |
العلم كالنور في الهداية | مذكور وجه الشبه | تشبيه مفصل |
العلم كالنور في الهداية تلاعم الأفكار والصدور | مذكور وجه الشبه بصورة متعددة | تشبيه تمثلي |
Sedangkan berdasarkan al-musyabbah dan al-musyabbah bih, tasybih dibagi menjadi dua kategori, sebagaimana dipaparkan dalam tabel berikut:
Contoh Kalimat | Keadaan Unsur Tasybih | Jenis Tasybih |
الهرم لا يتعلم، هل سمعت حطبا أثمر؟ أو الصخر لاينبت، أة الكتابة على الماء لا تثبت | محذوف المشبه والمشبه به | تشبيه ضمني |
خده كالورد صار الورد مثل خده | مقلوب المشبه مشبها به بادعاء وجه الشبه أقوى | تشبيه مقلوب |
Di samping rukun, pada dasarnya tasybih juga digunakan dalam ilmu al-bayan – yang berkaitan dengan upaya penafsiran Al-Qur’an – untuk menyampaikan tujuan-tujuan tertentu, di antaranya:[21]
- Untuk menampakkan keburukan al-musyabbahah, seperti firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 171,
وَمَثَلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا كَمَثَلِ الَّذِيْ يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ اِلَّا دُعَاۤءً وَّنِدَاۤءً ۗ صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُوْن
“Dan perumpamaan bagi (penyeru) orang yang kafir adalah seperti (penggembala) yang meneriaki (binatang) yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan. (Mereka) tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak mengerti”.
2. Untuk memperindah kondisi al-musyabbahah seperti dalam QS. al-Waqi’ah (56): 22-23 yang melukiskan keindahan dan kesucian hur in (حور عين) makhluk-makhluk surgawi/bidadari,
وَحُوْرٌ عِيْنٌۙ . كَاَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُوْنِۚ
“Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan baik”.
3. Untuk menjelaskan sifat dan keadaan al-musyabbahah, seperti dalam QS. al- ‘Ankabut (29): 41,
مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذَتْ بَيْتًاۗ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah”.
4. Untuk memantapkan keadaan al-musyabbahah, seperti dalam QS. al-Baqarah (2): 74,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوْبُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً ۗ وَاِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْاَنْهٰرُ
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar daripadanya”.
Setelah tasybih, topik menarik yang akan dibahas selanjutnya adalah tentang isti’arah dalam ilmu al-bayan yang kaitannya untuk menafsirkan Al-Qur’an. Isti’arah secara leksikal berakar dari derivasi kata استعار – يستعير yang berarti meminjam. Dalam terminologi arab, isti’arah adalah kalimat yang digunakan tidak dalam makna yang sebenarnya karena didasarkan pada adanya bentuk keserupaan (المشابهة) yang disertai dengan sebuah qarinah.[22] Abdurrahman al’Ak menambahkan bahwa isti’arah adalah majaz yang ‘alaqah-nya berupa musyabahah (keserupaan yang sama), seperti dalam QS. Ibrahim (14): 1,
الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ەۙ بِاِذْنِ رَبِّهِمْ اِلٰى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِۙ
“Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.”
Dalam ayat tersebut, maksud yang dikendaki sebenarnya adalah الضلال والهدى yang diserupakan dengan الظلمات والنور. Kata yang disebutkan hanya unsur al-musyabbah bih, namun kedua kata tersebut mempunyai qarinah musyabahah yang sama, yaitu الضلالة والظلمات yang berporos pada makna hilangnya seluruh petunjuk kebenaran, dan الهدى والنور yang sama-sama berporos pada makna cahaya petunjuk, bimbingan, pencerahan, dan seterusnya. Memang, pada dasarnya asal isti’arah adalah tasybih karena bagian dari unsur tasybih masuk dalam gaya bahasa isti’arah, hanya saja jika dalam gaya bahasa isti’arah, unsur-unsur pokok dalam tasybih harus ada yang dibuang, seperti al-musyabbah dan al-musyabbah bih.[23]
Dalam kajian tasybih dalam isti’arah ini, Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa hal demikian sangat memungkinan untuk memperoleh perluasan makna, namun tidak mengalami perbedaan siginifkan dari makna aslinya. Oleh sebab itu, ia mensyaratkan bahwa dalam al-ism al-lughawi harus mempunyai makna haiki (denotative meaning) sebelumnya nantinya digunakan dalam bentuk majaz (conotative meaning).[24] Sebagimana tasybih, gaya bahasa isti’arah juga memiliki beberapa unsur, antara lain:[25]
- Al-Musta’ar, yaitu lafadz yang dipindahkan (al-musyabbah)
- Al-Musta’ar minhu, yaitu lafadz yang menjadi acuan makna konotatif (al-musyabbah bih)
- Al-Musta’ar lahu, yaitu makna yang diperoleh. Dalam hal ini, unsur pertama dan kedua adalah lafadz sedangkan yang ketiga adalah makna.
Gaya bahasa isti’arah dalam ilmu al-bayan juga dibagi dalam beberapa kategori, sebagaimana penejalasan dalam tabel berikut:
Asal Perbedaan | Jenis Isti’arah | Keadaan Unsur Isti’arah | Contoh Kalimat | Keterangan |
Dari segi penyebutan al-musyabbah dan al-musyabbah bih | Isti’arah tashrihiyyah | Penyebutan unsur al-musyabbah bih | كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ەۙ بِاِذْنِ رَبِّهِمْ اِلٰى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ | Maksudnya dalam QS. Ibrahim (14): 1,
adalah الضلال والهدى |
Isti’arah makniyah | Penyenbutan al-musyabbah | اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ | Maksudnya dalam QS. al-‘Asr (103): 2 adalah التاجر | |
Dari segi keaslian dan derivasi kata | Isti’arah ashliyyah | Penyebutan al-musyabbah bih dengan mashdar jamid. | وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ | Maksudnya dalam QS. al-Baqarah (2): 179 adalah الأمن |
Isti’arah taba’iyyah | Penyebutan al-musyabbah bih dengan ism musytaq, yaitu ism al-fail. | اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنٰهُ | Maksudnya dalam QS. al-An’am (6): 122 adalah الكفر | |
Dari segi kuat dan lemahnya al-musyabbah dan al-musyabbah bih | Isti’arah murasyahah | Penyebutan kelaziman (karakteristik) al-musyabbah bih saja | اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَّلٰلَةَ بِالْهُدٰىۖ فَمَا رَبِحَتْ تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوْا مُهْتَدِيْنَ | Maksudnya dalam QS. al-Baqarah (2): 16 adalah استبدلوا |
Isti’arah mujarradah | Penyebutan kelaziman (karakteristik) al-musyabbah saja | رحم الله امرءا ألجم نفسه…بإبعادها عن شهواتها | Maksudnya adalah الدابة | |
Isti’arah muthlaqah | Penyebutan kelaziman (karakteristik) al-musyabbah bih dan al-musyabbah secara bersamaan. | رأيت…. بحرا يعطي فاغترفت منه | Kata يعطي adalah qarinah yang menunjukkan makna الإنسان (isti’arah mujarradah) , sedangkan فاغترفت menguatkan kata بحرا )isti’arah murosyahahh( |
Kinayah dalam Tinjauan Ilmu al-Bayan
Kinayah secara etimologi ialah perkatan yang tidak jelas maksudnya. Sebagaimana al-Jurjani dalam at-Ta’rifat mengemukakan bahwa kinayah adalah ucapan yang maksudnya terhalang oleh suatu pengunaan lafadz tertentu, jikalau maknanya itu nampak dari sisi bahasa, baik makna hakikat atau majaz, maka di dalamnya masih terdapat keraguan makna yang tak dapat dipastikan.[26] Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa kinayah (كناية) adalah usaha untuk menetapkan satu makna, tanpa menyebut lafadz sebelumnya, tetapi menyebut kalimat lain sambal menyematkan karakteristik tentnag maksudnya. Dengan pengertian yang lain, tidak menguraikan sesuatu, namun menyebut apa yang berkaitan dengannya, seperti kalimat كثير الرماد (artinya: banyak abunya). Kalimat ini digunakan sebagai kinayah untuk seseorang yang suka menjamu tamu. Ini dilakukan karena dahulu masak-memasak dilakukan dnegan membakar kayu.
Sejalan dengan definisi sebelumnya, As-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an mengatakan bahwa kinayah adalah sesuatu yang lebih jelas dari pada pernyataan biasa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh ahli ilmu al-bayan, yaitu lafadz yang digunakan untuk memperoleh makna lazim yang dimaksud, kemudian kinayah itu memiliki tujuan-tujuan tertentu, di antaranya adalah:
- Kinayah at-tanbih yang mengindikasikan sesuatu yang hebat, seperti yang disematkan dalam diri adam (laki-laki) sebagaimana dalam firman-Nya QS. al-A’raf (7): 189, هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَاۚ.
- Kinayah yang membiarkan lafadz ke sesuatu yang lebih umum sehingga kalimat وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا yang dimaksudkan adalah meliputi hawa (perempuan) juga, karena menghindari ucapan dengan penyebutan perempuan itu bisa menghadirkan makna yang mujmal (umum).[27]
- Kinayah untuk tujuan mubalaghah (melebihkan), seperti بَلْ يَدٰهُ مَبْسُوْطَتٰنِۙ yang mengungkapkan maksud luas dan besarnya kedermawanan dan kemuliaan Allah.
- Kinayah untuk menjelaskan, seperti، كثير الرماد, طويل النجاد، صديق اللسان dan seterusnya.
- Kinayah untuk menutupi nama orang, seperti أهل الدار yang berarti penghuni rumah, sebagai bentuk kinayah dari istrinya.
- Kinayah untuk memelihara kesponan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kata-kata yang tidak beradab, seperti أولمستم النساء yakni dalam sebagian tafsir adalah أوجامعتم النساء atau الآن باشرهن.
Telaah Singkat Konsep al-Wujuh wa an-Nadhair dalam Upaya Penafsiran Al-Qur’an
Salah satu kajian yang cukup penting dalam upaya memahami makna al-Qur’an adalah apa yang para ulama sebut dengan al-Wujuh wa an-Nadzair (الوجوه والنظائر). Al-Wujuh secara etimologi merupakan bentuk jamak dari al-wajh yang berarti sesuatu yang menjadi permulaan, seperti wajh al-lailah berarti permulaan malam, wajh as-sanah berarti permulaan tahun, dan seterusnya. Dalam arti bahasa yang lain, al-wajh juga bermakna bentuk, pola, atau model. Sedangkaan al-nadzair adalah bentuk jamak dari kata nadzir yang berarti sama atau sepadan.[28] Dari definisi singkat tersebut, maka kata al-wujuh dan an-nadzair sejatinya memiliki kerangka epistemologis yang berbeda dalam memandang pluralitas makna al-Qur’an. Al-wujuh dibentuk sebagai diskursus ilmu untuk membahas kesamaan lafadz-lafadz al-Qur’an tapi mengandung makna yang beragam, sedangkan al-nadzair dibentuk sebagai diskursus ilmu yang fokus mengkaji tentang kesepadanan makna al-Qur’an kendati menggunakan lafadz yang berbeda, dalam khazanah lingustik Inggris kajian ini disebut dengan homonymy.[29]
Secara terminologis, al-Suyuthi dalam bukunya al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menjelaskan bahwa al-wujuh adalah lafadz yang mempunyai kesamaan penuh dari segi stuktur yang digunakan dalam beberapa ragam makna. Sedangkan an-nadzair didefiniskan dengan lafadz yang berporos pada kesesuaian makna.[30] Hal yang sejalan juga disampaikan oleh Quraish Shihab bahwa al-Wujuh adalah kata yang secara keseluruhan sama dalam huruf dan bentuknya yang ditemukan dalam berbagai redaksi ayat, namun mengandung makna yang beragam. Sedang an-Nadzair adalah makna satu ayat yang sama dengan ayat lain, tapi menggunakan redaksi kata yang berbeda.[31] Dalam konsep al-wujuh, misalnya, kata ummah (أمة) yang terulang sebanyak lima puluh kali dalam al-Qur’an dan mengandung makna yang berbeda-beda. Al-husain bin Muhammad ad-Damighany menyebut setidaknya sembilan arti untuk kata ummah, antara lain, kelompok, agama (Tauhid), waktu yang Panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya. Dalam konsep an-nadzair, misalnya seperti insan (إنسان) dan basyar (بشر), yang seringkali diartikan manusia, demikian juga qalb (قلب) dan fuad (فؤاد) yang didefinisikan hati, kemudian kata nur (نور) dan dhiya’ (ضياء) yang diterjemahkan sinar/cahaya, kata qara’ (ضرأ) dan tala (تلا) yang diartikan membaca.[32]
Tampak jelas bahwa secara singkat al-wujuh berkaitan dengan perbedaan makna, sedangkan an-nadzair berkaitan dengan perbedaan lafadz. Sebagian pakar linguistik berpandangan bahwa ada kesamaan antara al-wujuh wa an-nadzair dengan musytarak al-lafdzi dan al-ma’na al-mutaradif. Namun, mayoritas ulama al-Qur’an menolak pendapat tersebut karena beberapa alasan. Ada yang berpendapat bahwa perbedaan al-wujuh dengan musytarak, antara lain, al-wujuh dapat terjadi pada lafadz tunggal dan dapat juga pada rangkain kata-kata, berbeda dengan musytarak yang hanya terpusat pada satu lafadz. Begitupula dengan perbedaan pada an-nadzair dan mutaradif, kendati keduanya serupa namun terdapat perbedaan yang signifikan ketika dalam konteks penafsiran dan pemahaman makna al-Qur’an dengan analisis-analisis yang mendalam.
Sebagai upaya sebagai metode dalam penafsiran al-Qur’an, berikut ini penulis mencoba untuk menjelaskan konsep an-nadzair yang sama sekali berbeda dengan mutaradif jika diterapkan dalam membaca dan memahami lafadz-lafadz yang seolah-olah mengandung arti yang sama, namun jika diuraikan lebih jauh berdasarkan konteks situasi dan kondisi dimana teks hidup, akan memberikan nuansa warna makna yang beragam. Kata qalb (قلب) dan fuad (فؤاد) walaupun secara leksikal kedua kata itu bisa dikatan sama arti, namun kendati demikian kedua kata itu justru mempunya kadar intensitas makna yang berbeda-beda.[33] Kata qalb ditemukan bahwa ia di samping berfungsi sebagai wadah sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Baqarah (2): 10:
فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”.
Ia juga berfungsi sebagai perangkat/pelaku, seperti dalam QS. al-A’raf (7): 179,
لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ
“Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak menggunakan untuk memahami (pemahaman yang mencegah mereka melakukan keburukan)”
Ini kemudian berbeda dengan fuad (af’idah) yang ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak lima belas kali. Fuad adalah hati yang harus mempertanggungjawabkan sikapnya, karena itu Allah berfirman dalam QS. al-Isra’ (17): 36,
اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”
[1] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 1
[2] Fazlur Rahman, “Islamic Studies and The Future of Islam”, dalam Malcom H. Kerr (ed), Islamic Studies, A Traditions and Its Problem, (Undena Publication: California, t.t), h. 126
[3] Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an: Memahami karakteristik Bahasa Ayat-ayat Eskatologi, (Malang: UIN Maliki Press, 2015), h. 4
[4] Ahmad Muzakki, op. cit, h. 5
[5] Ahmad Al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah: Fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999 H), h. 216
[6] Ahmad Qallash, Taisir al-Balaghah, (al-Madinah al-Munawwarah, 1416 H), h. 67
[7] Ahmad Qallash, loc.cit.
[8] Khalid Abdurrahman al-‘Ak, Ushul at-Tafsir wa Qawa’iduhu, (Damaskus: Dar an-Nafais, 280), h. 280
[9] Khalid Abdurrahman al-‘Ak, loc.cit
[11] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2019), h. 100
[12] Ibid, h. 101
[13] M. Quraish Shihab, op. cit, h. 101
[14] M. Quraish Shihab, op. cit, h. 121
[15] Ahmad Qallash, op. cit, h. 87
[16] Ahmad Qallash, op. cit, h. 88
[17] M. Quraish Shihab, op. cit, h. 122-126
[18] Ahmad Al-Hasyimi, op. cit, h. 219
[19] M. Quraish Shihab, op. cit, h. 127
[20] Ahmad Qallash, op. cit, h. 69
[21] M. Quraish Shihab, op. cit, h. 129-130
[22] Ahmad Qallash, op. cit, h. 91
[23] Khalid Abdurrahman al-‘Ak, op. cit, h. 277
[24] Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan, Wacana Majaz dalam AL-Qur’an Menurut Mu’tazilah, (Bandung: Mizan, 2003), h. 182.
[25] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Libanon, Dar al-Fikri, 1987), Jilid 1, h. 492
[26] Al-Jurjani, Mu’jam at-Ta’rifat, (Kairo: Dar a-Fadlilah, 1413 H), h. 164
[27] Jalal ad-Din As-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1429 H), h. 516
[28] Salwa Muhammad, al-Wujuh wa an-Nadzair fi al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1998), h. 41
[29] Ahmed Mohammed Ali Abdul Ameer, Homonymy in English and Arabic: A Contrastive Study (Babilonia: University of Babylon, 2010), h. 12
[30] Jalal ad-Din As-Suyuthi, op. cit., h. 301
[31] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 104
[32] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 104–105
[33] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 111-112