logo
  • HOME
  • ABOUT ME
  • ARTICLES
  • JOURNEY
  • GALLERY
  • CONTACT
logo
  • HOME
  • ABOUT ME
  • ARTICLES
  • JOURNEY
  • GALLERY
  • CONTACT
  • HOME
  • ABOUT ME
  • ARTICLES
  • JOURNEY
  • GALLERY
  • CONTACT
logo
  • HOME
  • ABOUT ME
  • ARTICLES
  • JOURNEY
  • GALLERY
  • CONTACT
[Home Article Melacak Historisitas Dan Potret Interelasi Spiritual Mistik Islam Dan Mistik Kejawen]
Blog
Article, Essay, Research
[ February 25, 2020 by admin 1 Comment ]

Melacak Historisitas Dan Potret Interelasi Spiritual Mistik Islam Dan Mistik Kejawen

ABSTRAK

Kepercayaan terhadap sesuatu yang metafisis pada prinsipnya merupakan aksioma manusia yang tidak bisa dihindarkan dari realitas kehidupan. Meski eksistensinya bersifat immaterial, namun hakikatnya ia selalu hadir dan diyakini sebagai kekuatan supranatural luar biasa yang mampu mempengaruhi dan merubah sistem tatanan alam semesta. Kepercayaan yang melekat dalam sistem kognisi manusia tersebut seringkali disebut dengan mistik. Secara esoteris, ajaran mistik yang ada dalam agama Islam dan agama Jawa (Kejawen) pada dasarnya memiliki kesamaan dan mengarah pada perjumpaan yang dialektis. Meski demikian, dalam tinjauan epistemologis, mistik Islam dan mistik Kejawen berbeda dalam tingkat eksoteris. Kajian tentang pelacakan historisitas dan konsep interelasi mistik Islam dan mistik Kejawen ini  menggunakan pendekatan historis-kritis-filosofis. Dalam upaya elaborasi data, penulis mengkaji fenomena di atas dengan menyertakan titik perjumpaan secara tipologik. Dari proses pembacaan dan pelacakan data, penulis menghasilkan beberapa temuan, antara lain: pertama, historisitas mistik Islam dan mistik Kejawen sudah terjadi pada beberapa abad yang lalu, sekitar abad 7 M, sinkretisasi ajaran dimulai sekitar abad 13 – 19 M, di mana ahli-ahli sufi Islam melakukan penyebaran ajarannya melalui karya-karya sastra Jawa, kedua,  konsep interelasi spiritual mengerucut pada empat aspek; 1)  Hakikat tentang asal muasal manusia dan tujuan kehidupan manusia (Sangkan Paraning Dumadi), 2) Monisme-Panteisme (Manunggaling Kawula-Gusti), 3) Kesempurnaan Hidup (Kasampurnaning Dumadi), 4) Adanya Sarana untuk Mencapai Pengetahuan Tuhan (Laku Spiritual).

 

Kata Kunci: mistik Islam, mistik Kejawen, esoteris, eksoteris, historisitas, interelasi spiritual, sinkretisasi, akulturasi

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Dalam perjalanan sistem kepercayaan di dunia, manusia secara konseptual sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan apa yang disebut dengan mistik atau hal- hal supranatural. Mistik dalam konteks sistem kognisi diyakini sebagai kekuatan gaib yang dapat memberikan pengaruh besar dalam sebuah dinamika kehidupan. Mereka memandang bahwa dalam realitas kehidupan ini terdapat senyawa metafisis yang mampu menggerakkan jiwa, benda-benda material, dan aktivitas-aktivitas tertentu. Tidak hanya itu, mereka bahkan mempercayai bahwa kekuatan immaterial atau suprarasional tersebut adalah sumber dari pengetahuan, perubahan, keberkahan, kesejahteraan, dan kemakmuran yang abadi. Konsepsi-konsepsi seperti itu dalam konteks historisnya sudah lama ada dan mengakar pada sistem ajaran agama, tak terkecuali agama formal atau nonformal.[1]

Di dalam Islam sebagai agama formal, konsepsi tentang mistis juga lahir dan tumbuh dari paham legalisme (teologis-normatif) yang eksistensinya telah diatur dalam sumber-sumber yang autentik. Kemunculannya disebabkan lantaran konsep syari’at yang dianggap sebagian umat Islam mendangkalkan dan mengeringkan perasaan agama, sehingga dari kegelisahan tersebut lahirlah ajaran mistik Islam yang mementingkan rasa dan penghayatan yang identik dengan praktik-praktik spiritual personalistik (riyadlah). Dalam sejarah periodisasi Islam, praktik seperti ini kemudian disebut dengan paham sufisme.[2]

Begitupula di dalam agama nonformal, seperti agama Jawa yang juga sangat mempercayai adanya kekuatan mistis yang bersumber dari Zat Yang Maha Segalanya. Dalam ajaran agama Jawa, meskin secara eksoteris memiliki karakteristik perilaku dan simbol-simbol yang berbeda, namun, perlu dipahami bahwa pada tingkat esoteris, agama Jawa memliki konsep yang sama, yaitu ketunggalan Tuhan (monoteisme).[3] Paham yang menekankan Tuhan sebagai suatu keniscayaan yang pasti. Para penganut agama ini, mempercayai Tuhan melalui beragam bentuk personfikasi yang dipersepsikan sebagai representasi dari eksistensi Tuhan, seperti salah satunya apa yang kemudian dikenal dengan paham animisme dan dinamisme. Dari segi praktiknya, mereka juga tak jarang melakukan sejumlah aktivitas moral-spiritual secara personal sebagai perwujudan makhluk untuk memusatkan diri terhadap rasa ketundukan kepada Tuhan. Konsepsi mistis seperti inilah yang kemudian melahirkan istilah atau terma yang disebut dengan mistik kejawen.[4]

Walaupun secara konseptual, agama Islam dan agama Jawa memiliki titik perjumpaan pada unsur tententu, tapi tidak sedikit kelompok juga mengklaim bahwa Islam sangat eksklusif dan berbeda dengan agama non-Islam. Kelompok puritan misalnya yang menolak Islam dengan atribut kepercayaan yang lain karena menganggap bahwa Islam adalah agama samawi yang diturunkan berdasarkan ajaran-ajaran dogmatik-teologis yang sudah tertulis dalam teks-teks suci. Artinya, dalam Islam ada sebuah komitmen yang mengikat dan harus ditaati, tidak seperti kepercayaan di luar Islam yang sifatnya tidak dibatasi, dianggap magis, politeistik, tidak mengikat, dan seterusnya. Meski demikian, mayoritas yang lain seperti paham moderat meyakini bahwa dalam domain-domain tertentu, Islam memiliki konsep spiritual yang sama dengan agama lokal. Islam mempunyai kecenderungan pola akulturasi yang cukup dinamis dengan agama nonformal. Tidak menutup kemungkinan, Islam juga dapat berdialektika secara kompromistik dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Dari dua potret fenomena entitas agama tersebut, penulis dalam makalah kali ini akan berusaha untuk membahas dan menguraikan titik persinggungan dan perjumpaan antara mistik Islam dan mistik kejawen dalam bingkai historisitas dan potret spiritualitas yang dikonstruksikan. Penulis dalam elaborasinya akan mencoba menampilkan transmisi fakta-fakta sejarah; tokoh dan konstruksi ideologis, dan kemudian memaparkan potret spiritualitas yang menjadi ajaran-ajaran pokok dalam paham mistisme Islam dan mistik Kejawen.

 

  • Rumusan Masalah
  1. Apa hakikat ontologi dan epistemologi mistik Islam dan mistik Kejawen?
  2. Bagaimana sejarah perjumpaan mistik Islam dan mistik Kejawen?
  3. Bagaimana potret interelasi konsep spiritual mistik Islam dan mistik Kejawen?

 

  • Tujuan
  1. Untuk menjelaskan konsepsi hakikat ontologi dan epistemologi mistik Islam dan mistik Kejawen.
  2. Untuk mengelaborasi sejarah perjumpaan mistik Islam dan mistik Kejawen?
  3. Untuk mendeskripsikan potret interelasi konsep spiritual mistik Islam dan mistik Kejawen.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  • Mistik Islam dan Mistik Kejawen: Tinjauan Ontologis dan Epistemologis

Istilah mistik atau mistis (mystical), demikian juga misteri (mystery) secara etimologis berasal dari kata Yunani, myein, yang berarti ‘menutup’, khususnya menutup mata dan bibir, semi tidak mengungkapkan sesuatu yang rahasia atau tersembunyi.  Pada mulanya istilah mistis digunakan oleh pengarang-pemgarang Kristiani dari zaman patristik (Para Bapa Gereja) untuk menunjukkan “makna mistis” Bibel. Baru pada penghujung periode abad pertengahan hingga modern penggunaan istilah ini bergeser untuk menunjukkan minat yang berkembang terhadap sejumlah pengalaman “privat” dari orang-orang yang diriwayatkan telah berjumpa dengan Yang Ilahi. Dalam diskusi filosofis modern, mistis dipahami sebagai keadaan-keadaan atau modus-modus kesadaran yang didapatkan dari dalam ataupun luar semua tradisi keimanan. Ia dikarakteristikan sebagai “pengalaman kebersatuan mutlak”, “kebersatuan dengan yang transenden”, atau “kesadaran langsung akan kehadiran Tuhan”.[5]

Adapun mistik dalam khazanah keislaman biasa disebut dengan sufi. Sufisme adalah sebuah paham yang dikonsepsikan sebagai pengetahuan dan pengalaman spiritual, khususnya pengetahuan teologis tentang Tuhan dan pengetahuan ekperiensial tentang metode dalam mencapai hubungan dengan Tuhan. Kata sufi atau tasawuf sendiri berasal dari bahasa Yunani shopos yang memiliki arti hikmah atau keutamaan. Ia adalah ajaran mistik yang diusahakan sekelompok umat Islam dan mengacu pada ajaran Islam.[6] Dalam kata yang lain, sufi atau sufisme juga diistilahkan dengan irfan. ‘Irfan sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Arab ‘arafa – ya’rifu – ma’rifat yang bermakna pengetahuan, tapi secara aksiologis, berbeda dengan terma ‘ilmu. Irfan atau makrifat adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan (kasyf) dengan melakukan beberapa praktik spiritual seperti olah rohani (riyadlah) dan didasarkan oleh perasaan cinta (hub) dan kemauan (iradah) yang kuat, sedangkan ilmu merujuk pada pengetahuan yang diperoleh melalui rasionalitas (‘aql) dan logika penalaran.[7] Dalam perspektif Mehdi Hairi Yazdi, Pengetahuan irfan inilah yang kemudian disebut dengan pengetahuan yang proses transmisinya dilakukan secara langsung dan dihadirkan oleh pemilik pengetahuan tersebut (ilm hudluri), sementara ilmu adalah pengetahuan rasional yang proses transmisinya selalu diupayakan dan dicari (ilm muktasab).[8] Dalam istilah yang lain, menurut Henri Bergson, irfan diartikan sebagai pengetahuan tentang intuitif yang diperoleh tanpa ada tabir (knowledge of), berbeda dengan pengetahuan mengenai (knowledge about), diskursif yang diperoleh lewat perantara, baik indra ataupun rasio.[9]

Menjadi catatan tersendiri bahwa mistik Islam atau sufisme dalam banyak hal diyakini belum bisa terlepas dari ikatan-ikatan dogma-dogma tekstual Islam yang menjadi representasi dari jalan menuju Tuhan (syari’ah). Dengan kata lain, hakikat sufisme dalam sistem kognisi Islam tidak bisa berjalan tanpa adanya syari’at yang benar. Oleh karena itu, untuk mencapai titik makrifat dalam Islam, harus selalu melalui tahapan-tahapan yang tidak saling berseberangan, mulai dari syari’ah, tarikah, hakikat, dan makrifat.[10]

Sementara mistik dalam khazanah kejawaan atau dalam terma populernya adalah mistik kejawen secara ontologis Suwardi mendefinisikan sebagai manifestasi dari agama Jawa, sementara agama Jawa sendiri adalah akumulasi praktik spiritual masyarakat Jawa.[11] Sedangkan secara epistemologis, mistik kejawen dianggap sebagai agama sinkretis yang bercampur dengan realitas teologis atau ritual agama-agama formal yang lain, seperti Hindu, Budha, ataupun Islam. Hal ini menjadi suatu kelaziman sebab gejala sinkretisme sendiri dipandang sebagai cara untuk memperkaya cara pandangan terhadap tantangan zaman dan memperluas cakrawala kepercayaan tentang keesaan Tuhan yang kemudian menjadi inti ajaran, yaitu sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup), manunggaling kawulo-Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan), dan kasampurnaning dumadi (kesempurnaan hidupan). Dalam konteks sinkretisme inilah, kemudian kaum kejawen relatif taat pada agamanya, yakni dengan menjauhi larangan dan melaksanakan perintah agama, namun tetap menjaga jati diri sebagai orang Jawa. Dari pemahaman ini, maka pada perkembangannya muncul aliran filsafat kejawen, di antaranya; Islam Kejawen, Hindu Kejawen. Kristen Kejawen, Budha Kejawen, dan seterusnya.[12]

Sebagian Kelompok yang lain menolak asumsi tersebut dan menyatakan bahwa mistik kejawen bukan dianggap agama sinkretis, melainkan murni ajaran kejawen yang telah muncul jauh sebelum agama-agama formal datang dan mengalami akulturasi dengan budaya dan agama Jawa.[13] Pernyataan tersebut seolah dapat diafirmasi ketika melihat kembali definisi kejawen secara etimologis yang dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adat atau kepercayaan masyarakat Jawa. Selain itu, kejawen juga dimaknai dengan filsafat yang mengandung ajaran universal. Walaupun secara historis, kejawen selalu berdampingan dengan agama yang berkembang, namun dalam kitab kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai agama meski memiliki laku.[14]

 

  • Melacak Historisitas Mistik Islam dan Mistik Kejawen

Sebelum memaparkan uraian-uraian historis tentang mistik Islam, sebagai pendahuluan, penulis merasa perlu untuk menjelaskan dimensi mistis yang ada dalam Islam. Hal ini penting untuk dilakukan karena agar nantinya dapat memetakan secara tipologik perjalanan mistik Islam dari satu periode hingga periode selanjutnya. Secara garis besar, Annemarie Schimmel dalam magnum opusnya Mystical Dimension of Islam mengemukakan dua tipe sentral ajaran mistik dalam Islam, antara lain; Mysticism of Infinity dan Mysticism of Personality.

Tipe pertama, Mysticism of Infinity adalah paham mistik yang memosisikan Tuhan sebagai realitas absolut dan tak terbatas. Tuhan diibaratkan dengan lautan yang sangat luas, tidak memiliki batas awal dan akhir serta tidak terikat oleh zaman. Paham ini cenderung memandang Tuhan sebagai representasi pengendali atas manusia. Manusia dipersepsi sebagai percikan atau ombak lautan yang serba-Ilahi, laksana wayang yang berada di tangan dalang. Dalam konteks teologi Islam, paham semacam ini diidentikan dengan paham fatalism (Jabariyah). HM Rasjidi menamai paham ini dengan sebutan union mistik. Unison mistik adalah suatu aliran yang memandang manusia bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhannya.[15]

Tipe kedua, Mysticism of Personality, adalah paham atau aliran mistik yang menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada paham kedua ini, hubungan manusia dan Tuhan diilustrasikan sebagai hubungan antara kawula (makhluk) dan Gusti (Khalik).[16] Dalam istilah yang lain, paham tersebut disebut oleh Simuh dengan transendentalisme mistik. Yaitu paham yang mempertahankan adanya perbedaan esensial antara manusia sebagai makhluk cipataan dan Tuhan sebagai pencipta. Tuhan dipandang sebagai Dzat yang bersifat transenden yang mengatasi alam semesta. Ini kebalikan dengan paham union mistik yang menganggap Tuhan sebagai Dzat imanen yang bersemayam dalam alam semesta dan diri manusia.[17] Untuk memperjelas klasifikasi tentang kedua paham tersebut dalam dimensi sejarah, berikut akan dipaparkan potret sejarah mistik Islam atau yang biasa dikenal dengan sufisme Islam.

Disversifikasi konsep Tuhan dan manusia di atas berimplikasi pula pada munculnya pendekatan penghayatan kepada Tuhan. Para penganut union mistik menekankan pada pendekatan volunteristik, yaitu berupaya untuk membebaskan dan meleburkan kediriannya dalam Tuhan dan menyatukan kehendaknya dengan kehendak Tuhan (to quality himself with the qualities of God and to unite his own will completely with God’s will). Sebaliknya, transendentalisme atau personalisme menggunakan pendekatan gnostic. Yakni berusaha memperoleh pengetahuan langsung yang mendalam dari Tuhan (to strives for deeper knowledge of God).[18]

Pertumbuhan dan perkembangan sufisme Islam dalam konteks sejarah, paling tidak dapat dibagi dalam enam periode, antara lain; periode pembibitan, periode kelahiran, periode pertumbuhan, periode puncak, periode spesifikasi, dan periode kemunduran.

Periode pertama, adalah masa pembibitan yang terjadi pada abad ke-1 H/ 7 M. Menurut Thabathabai, dalam periode ini sufisme baru ada dalam bentuk laku zuhud (askestisme). Para pelaku yang dikenal sebagai orang-orang suci tidak berbicara tentang sufisme secara terbuka, meski mereka mengaku dididik dalam spiritualitas oleh Rasul dan para sahabat.[19] Karakter askestisme ini adalah 1) berdasarkan ajaran al-Qur’an dan sunnah, 2) bersifat praktis tanpa ada penyusunan teori secara sistematis, dan 3) motivasi zuhudnya adalah rasa takut.[20] Berdasarkan karakteristik yang ada, sufisme ini termasuk kelompok paham transendentalisme mistik yang menggunakan pendekatan gnostik.

Periode kedua, adalah masa kelahiran yang terjadi pada abad ke-2 H/8 M. Pada masa ini, sudah terjadi pembicaraan terbuka tentang sufisme. Karya-karya tentangnya juga telah banyak ditulis, di antaranya Ri’ayat Huquq Allah karya Hasan Basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang sufisme, al-Syari’ah karya Fudlail ibn Iyadl (w.803 M). Karakter mendasar dari periode ini adalah laku askestisme yang berubah dari rasa takut menjadi zuhud yang dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan. Salah satu tokoh yang sangat terkenal adalah Rabiah Adawiyah (w. 801 M). Menurut Nicholson, zuhud ini dinggap model praktik sufisme yang paling dini.[21] Berdasarkan karaktristik yang mewarnai, sufisme ini termasuk kelompok paham transendetalisme yang menggunakan pendekatan gnostik.

Periode ketiga, adalah fase pertumbuhan yang terjadi pada abad 3-4 H/9-10 M. Dalam fase ini, karakter yang menjadi corak sufime ini adalah 1) para tokoh sufisme sudah memerhatikan hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq), 2) ada pembahasan mengenai pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya tentang Dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia, dan 3) munculnya gagasan tentang fana’ (ekstase) “Aku adalah Allah” dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M) dan hulul (imanensi Tuhan dalam manusia) “Ana al-Haqq” dari Husein al-Mansur al-Hallaj (858-913 M). Dalam fase ini pula, kemudian muncul diskusi tentang pengetahuan tasawuf, seperti al-Lum’ah fi al-Tashawuf yang ditulis Abu Nashr Sarraj al-Thusi (w. 988 M) dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki (w. 996 M).[22] Paham union mistik yang menggunakan pendekatan volunteristik sangat melekat pada sufisme periode ini.

Periode keempat, adalah fase puncak yang terjadi pada abad ke-5 H/11 M. Pada fase ini, sufisme mencapai kejayaan yang gemilang. Banyak mistikus Islam yang lahir dan menulis tentang sufisme, di antaranya; Said Abu Khair (w. 1049 M) dengan karyanta Ruba’iyat, Ibn Utsman al-Hujwiri (w. 1077 M) dengan karyanya Kasy al-Mahjub, dan Abdullah al-Anshari (w. 1088 M) dengan karyanya Manazil al-Sairin. Puncaknya adalah al-Ghazali (w. 1111 M) yang menulis Ihya’ Ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani).[23] Menurut Nicholson, di tangan al-Ghazali, dalam fase ini, irfan menjadi jalan yang jelas untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam Tauhid dan kebahagiaan.[24] Paham transendentalisme yang menggunakan pendekatan gnostik sangat melekat pada sufisme periode ini.

Periode kelima, adalah fase spesifikasi yang terjadi pada abad ke-6 dan 7 H/ 12 dan 13 M. Berkat al-Ghazali, sufisme dalam fase ini semakin terkenal dan berkembang dalam masyarakat Islam. Banyak tokoh Sufis mengembangkan tarikat-tarikat untuk tujuan pendidikan pada murid, sebagaimana yang dilakukan A. Rifa’I (w. 1174 M), Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1253 M), Abu al-Syadlili (w. 1258 M), Abu Abbas al-Mursi (w. 1287 M), dan Ibn Athaillah al-Iskandari (w. 1309 M). Dalam saat yang sama, dalam fase ini juga muncul tokoh-tokoh yang berusaha memadukan sufi dengan filsafat, khususnya neo-platonisme yang kemudian melahirkan filsafat illuminatif atau sufisme teoritis, di antaranya; Suhrawardi (w. 1191 M) lewat karyanya yang terkenal, Hikmah al-Isyraq, Ibn Arabi (w. 1240 M) dan konsepnya tentang wahdat al-wujud, Umar ibn Faridl (w. 1234 M), dan Ibn Sab’in al-Mursi (w. 1270 M). Karakteristik yang melekat dalam fase ini adalah adanya rumusan teori mendalam tentang jiwa, moral, pengetahuan, wujud, dan sebagainya yang sangat bernilai bagi kajian sufisme dan filsafat selanjutnya.[25]

Periode keenam, fase kemunduran yang terjadi sejak abad ke-8 H/ 14 M. Dalam fase ini, sufisme lebih cenderung tidak mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan justru mengalami kemerosotan. Karakteristiknya antara lain 1) para tokohnya lebih fokus pada pemberian komentar dan ikhtisar atas karya-karya terdahulu, 2) cenderung lebih menekankan bentuk ritus dan formalisme, yang terkadang menyimpang dari ajarannya sendiri, dan 3) walaupun secara kuantitas, pengikutnya bertambah, namun secara kualitas, tidak ada pribadi unggul yang mencapai kedudukan ruhaniyah terhormat.[26] Namun, meski demikian, sufisme teoritis yang bernuansa filsafat tetap berkembang pesat, seperti di tanah air sendiri, pemikiran wahdat al-wujud Ibn Arabi banyak dikembangkan oleh tokoh-tokoh sufi, antara lain; Hamzah Fansuri (w. 1590 M) dan Syamsuddin Sumatrani (w. 1639 M) yang dikenal dengan ajaran “martabat tujuh”.[27] Tokoh-tokoh inilah yang kemudian banyak menginspirasi pemikiran-pemikiran sufisme bagi perkembangan agama dan kesusasteraan Melayu hingga abad 19 M (dalam Centhini, Wirid Hidayat Jati, Ranggawarshita, dan sebagainya). Pada era ini pun, paham yang sangat mewarnai adalah paham union mistik (manunggaling kawula Gusti).

Untuk lebih mempermudah dalam pelacakan data, penulis akan menampilkan klasifikasi setiap periode melalui tabel berikut:

Periode Tahun Karakteristik Dimensi Sufi Tokoh
Periode I/ Fase Pembibitan 1 H/ 7 M

 

1) berdasarkan ajaran al-Qur’an dan sunnah, 2) bersifat praktis tanpa ada penyusunan teori secara sistematis, dan 3) motivasi zuhudnya adalah rasa takut Transendetalisme Mistik (Gnostik) Belum ada tokoh
Priode II/ Fase Kelahiran 2 H/8 M

 

laku askestisme yang berubah dari rasa takut menjadi zuhud yang dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan. Transendetalisme Mistik (Gnostik) Rabiah Adawiyah (w. 801 M)
Priode III/ Fase Pertumbuhan 3-4 H/9-10 M

 

1) mekankan pada jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq), 2) intensitas pembahasan tentang pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya tentang Dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia, dan 3) munculnya gagasan tentang fana’ (ekstase) dan hulul (univikasi) Union Mistik (Volunteristik) Abu Yazid Bustami (w. 877 M) “Aku adalah Allah”

 

Husein al-Mansur al-Hallaj (858-913 M) “Ana al-Haq”

 

Periode IV/ Fase Puncak 5         H/11 M

 

1)   Irfan menjadi jalan yang jelas untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam Tauhid dan kebahagiaan.

2)   Ada penyelerasan antara ilmu hakikat dan ilmu syariat.

Transendentalisme Mistik Al-Ghazali dengan karyanya Ihya’ Ulum ad-Din
Periode V/ Fase Spesifikasi 6 -7 H/ 12-13 M

 

1) Adanya rumusan teori mendalam tentang jiwa, moral, pengetahuan, wujud, dan sebagainya, 2) Gerakan memadukan sufi dengan filsafat, khususnya neo-platonisme yang kemudian melahirkan filsafat illuminatif atau sufisme teoritis Union Mistik (Volenteristik) ·    Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1253 M)

·    Ibn Athaillah al-Iskandari (w. 1309 M)

·    Suhrawardi (w. 1191 M)

·    Ibn Arabi (w. 1240 M)

 

Periode VI/ Fase Kemunduran 8 H/ 14 M

 

1) Para tokohnya lebih fokus pada pemberian komentar dan ikhtisar atas karya-karya terdahulu, 2) cenderung lebih menekankan bentuk ritus dan formalisme, 3) menjadi sufisme yang menginspirasi pemikiran bagi perkembangan agama dan kesusasterraan Melayu hingga abad 19 M (dalam Centhini, Wirid Hidayat Jati, Ranggawarshita, dan sebagainya) Union Mistik (Volenteristik) ·    Hamzah Fansuri (w. 1590 M) dan Syamsuddin

·    Sumatrani (w. 1639 M) yang dikenal dengan ajaran “martabat tujuh”

 

Sementara dalam pelacakan historisitas mistik Kejawen, penulis akan memulainya dengan pemaparan tentang agama atau kepercayaan Jawa yang dimulai sejak ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Fakta sejarah membuktikan bahwa eksistensi orang jawa diketahui dengan ditemukannya fosil-fosil yang berada di embah Bengawan Solo, Jawa Tengah. Fosil yang tertua disebut Pithecantropus Erectus dan fosil yang termuda disebut Homosolensis. Fosil-fosil yang ditemukan di Jawa Tengah ini kemudian menjadikan asumsi bahwa daerah inilah yang menjadi nenek moyang orang Jawa. Oleh sebab itu, mereka selalu mempercayai bahwa mereka adalah keturunan lelulur Jawa.[28] Dalam referensi yang lain, penemuan fosil-fosil tersebut memberikan bukti bahwa orang Jawa yang dinekal dengan kaum Lemuria atau Legena pernah tinggal di sana sekitar tahun 7000 SM.[29] Empat ribu tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 3000 SM, suku Linggal pernah tinggal di Jawa. Selanjutnya pada tahun 230 SM, orang-orang Cina Chou (Zhou) datang ke Jawa. Penduduk Jawa pun semakin heterogen dan plural semenjak orang-orang dari Yunan (Cina Selatan), India, Thailand (Siam), Turki, Arab, dan Champa berdatang ke Jawa. Mereka yang berbaur dan berinteraksi inilah dianggap sebagai nenek moyang masyarakat Jawa sekarang.[30]

Dari uraian pendahuluan itu, dalam perjalanan selanjutnya, konepsi tentang para leluhur itu diyakini sebagai cikal bakal munculnya paham kepercayaan orang Jawa. Sejauh literatur yang dapat diadaptasi, terdapat beragam pendapat yang menjadi landasan dasar adanya kepercayaan Jawa asli yang bersifat transendental. Namun, penulis hanya akan mengetengahkan dua pendapat yang dianggap populer dan paling menjadi poros fakta sejarah, yaitu 1) pendapat Purwadi dan Djoko Dwiyanto yang menyatakan bahwa kepercayaan Jawa asli (kejawen) lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme[31], 2) pendapat Rachmat Subagya yang menyatakan bahwa kosmogini kejawen diawali dengan kepercayaan dan kebudayaan monoteistik dan tesitik, bukan berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme sebagaimana menurut kebanyakan para antropolog yang lain.[32]

Pendapat pertama, para pakar antropologi menyatakan bahwa kejawen itu asalnya dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Pandangan yang sejalan juga diungkapkan oleh Masroer bahwa sebelum Hinduisme dan Budhisme masuk ke Jawa, agaknya masyarakat Jawa telah menganut agama asli yang bercorak animistik dan dinamistik. Hal serupa juga dikemukakan oleh Simuh, bahwa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme, suku-suku bangsa Indonesia, khususnya Jawa telah hidup teratur dengan tradisi animistik dan dinamistik sebagai akar religiusitas dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka.[33] Simuh juga menambahkan kepercayaan animisme dan dinamise waktu itu cukup memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap kebudayaan-kebudayaan yang telah maju.

RM Sutjipto Wirjosuparto juga turut mengafirmasi pendapat yang sama, ia menyatakan bahwa meski ada banyak ragam kebudayaan yang lebih tinggi, seperti Hindu, Islam, dan Kristen yang menjalin hubungan dengan kebudayaan asli Jawa, atau sebaliknya, hal itu tidak mempengrahui secara siginifikan terhadap perubahan pola kebudayaan asli Jawa, tetap saja sama dengan yang sebelumnya. Hal ini bisa dikatakan bahwa konsistensi kebudayaan kejawenlah yang mampu mempertahankan karakter dan ciri aslinya.[34] Tidak kalah menarik, J.W.M Bakker mengatakan walupun sebagai besar masyarakat Jawa sudah beragama Islam secara formal, namun dari realitanya, sikap dan praktik keagamaan sehari-hari yang mereka hayati selalu dijiwai oleh batin agama asli kejawen, yaitu animisme dan dinamisme.[35]

Pendapat kedua, diutarakan oleh Rachmat Subagya yang menyatakan bahwa kosmogoni kejawen justru lahir dan diawali dengan kepercayaan monoteistik dan teistik (ketunggalan Tuhan). Bagi Rachmat watak dasar kepercayaan Jawa bukan berada pada kepercayaan anismistik dan dinamistik. Walaupun dalam fase ini pemahaman mereka tentang konsep monoteisme tidak selengkap dan seideal agama-agama formal yang secara normatif legal spesifik telah dimuat dalam kitab wahyu klasik. Namun, satu hal yang menarik dan dicermati bahwa pemikiran terhadap konsep ilahiyah ini tumbuh dari pengalaman hidup, nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam realitas empiris, kedamaian dan perasaaan bahagia, pertikaian dan konflik, dan seterusnya. Dalam hati nurasi mereka terlitas keyakinan magis (gaib) yang mengonstruk adanya realitas ilahi yang dianggap mampu menaungi pengalaman-pengalaman tersebut. Dalam keadaan apapun mereka senantiasa dihadapkan pada ilahi untuk memohon perlindungan dari bahaya yang mengancam, baik berupa penyakit, musibah, bencana alam, dan lain sebagainya.

Sebagai argumentasi pendukung, berkaitan dengan keyakinan monoteistik ini, penulis berhasil melacak keberadaan agama bernama Kapitayan yang sejatinya telah muncul di tanah Jawa pada awal perhitungan Masehi melalui satu referensi yang ditulis oleh Sri Wintala Achmad. Disebutkan bahwa orang jawa dulu telah mempercayai keberadaan suatu entitas tidak kasatmata namun memiliki kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia. Mereka tidak menyembah selain Tuhan. Mereka meyakini bahwa yang patut disembah hanyalah Sang Hyang Taya. Bagi para penganut Kapitayan, Sang Hyang Taya dipersepsikan memiliki makna “hampa” atau “kosong” yang diistilahkan kemudian dengan satu kalimat “Tan kena kinaya ngapa” (tidak bisa diapa-apakan keberadaannya). Lantaran itulah, agar bisa disembah, Sang Hyang Taya[36] mempribadi dalam nama dan sifat “Tu” atau “To” yang bermakna daya gaib dan bersifat adikodrati.[37]

Perlu dicatat bahwa konsep hyang dalam Sang Hyang Taya adalah asli dari sistem kepercayaan orang Jawa. Dalam bahasa Melayu, Kawi, Sunda, Jawa, Sunda atau Bali; kata hyang dimaknai dengan eksistensi kekuatan adikodrati yang bersifat supranatural. Kekuatan tersebut bersifat absolut Ilahiyah yang mencipta, mengatur, dan mempengaruhi segala sesuatu di jagad raya. Absolutisme bagi mereka adalah sesuatu yang tidak bisa dipikir dan dibayangkan serta didekati dengan pancaindra secara langsung. Karena aksioma-aksioma yang bersifat gaib inilah kemudian mereka berkesimpulan bahwa untuk memuja dan menyembah-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Fakta ini yang menjadikan ajaran Kapitayan sebagai kekuatan gaib dari dzat tunggal Sang Hyang Taya yang tersembunyi di dalam segala sesuatu Bernama “Tu” dan “To”. Karenanya para pengikut ajarab Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, pin-tu, to-peng, to-san, to-wok, to-ya. Dalam melakukan bakti puja kepada Hyang Taya, orang jawa biasanya menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu, dan tu-kung melalui sesuatu yang diyakini gaib.[38]

Dalam perkembangannya, agama Kapitayan yang diyakini sebagai tuan rumah, agama asli orang jawa atau istilah yang lain kepercayaan kejawen pernah mengalami sinkretisme dan ketersinggungan dengan agama-agama tamu yang lain, di antaranya; Hindu, Budha, dan Islam. Tak heran jika nantinya ajaran-ajaran mistik yang diyakini di dalam agama Kapitayan juga berakulturasi dengan ajaran mistik dari agama-agama tamu tersebut, khususnya Islam. Fakta sejarah menyatakan bahwa sekitar abad 19 M Islam melalui para guru agama termasuk kaum sufi, juga para pemuka kerajaan banyak melakukan islamisasi dan penetrasi terhadap kelompok Kapitayan sehingga melahirkan paham yang cenderung islamis di satu sisi dan kejawen di sisi yang lain atau dalam istilah akulturatifnya adalah ajaran mistik Islam Kejawen. Ajaran-ajaran mistik Kejawen yang terakulturasi dengan mistik Islam kemudian terpotret dalam berbagai karya kepustakaan susastra Jawa, baik dalam bentuk serat wirid, suluk, atau tembang, seperti Wirid Hidayat Jati, Maklumat Jati, Centhini, Wedhatama, Wulangreh, Suluk Sukma Lelana, Malang Sumirang, Suluk Wujil, Sastra Gendhing, Jati Swara, Kunci Swarga, dan lain sebagainya.[39]

 

  • Potret Interalasi Konsep Spiritualitas dalam Mistik Islam dan Mistik Kejawen

Dari uraian historis sederhana yang telah dipaparkan sebelumnya, setidaknya konsepsi tentang mistik Islam dan mistik kejawen berikut letak pesinggungan dan perjumpaannya semakin menemukan titik terang. Dari perjumpaan yang bersifat eksoteris (luar) hingga ke dalam dimensi esoteris (terdalam), bagaimana mistik Islam atau sufisme memandang konsep tentang alam semesta, hubungan manusia dengan Tuhan, dan perihal ihwal media laku spiritual beserta tata caranya. Untuk mengetahui lebih dalam lagi, dalam bab ini penulis akan mencoba membahas potret interelasi konsep spiritualitas dalam mistik Islam dan mistik kejawen secara eksploratif-tipologik.

Sebagaimana penjelasan di bagian awal, mistik Islam dan mistik Kejawen memiliki kesamaan konsep dan memiliki keterkaitan dalam empat prinsip esensial, yaitu:

  1. Hakikat tentang asal muasal manusia dan tujuan kehidupan manusia (Sangkan Paraning Dumadi)

Dalam ajaran tasawuf atau sufi, prinsip mendasar pertama yang harus dimengerti dan dipahami oleh manusia adalah tentang hakikat asal usul manusia; dari mana manusia berasal dan tujuan manusia; ke mana manusia nanti akan pergi. Prinsip ini menjelaskan bahwa manusia pada asalnya diciptakan oleh Tuhan (Khalik) dan nantinya juga akan kembali kepada-Nya. Dalam aspek yang lain, pengetahuan yang hendak dicapai adalah tentang kandungan senyawa yang ada dalam diri manusia pada awal penciptaannya, yaitu nafsu amarah, lawamah, dan mutmainah. Hal ini sebagaimana ajaran sufi yang dikenalkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din.[40]

Adapun dalam mistik Kejawen juga terdapat ajaran yang serupa. Dalam istilah jawa konsep ini disebut (Sangkan Paraning Dumadi). Bagi Kaum Kejawen, manusia pada dasarnya berasal dari empat anasir yang bersifat fisik dan ruh atau nyawa. Mereka menyebutnya sebagai sedulur papat (empat saudara), antara lain; 1) Tanah dengan warna hitam yang membentuk nafsu aluamah, yaitu naluri makan dan minum untuk dijadikan energi dalam hidupnya, 2) Api dengan warna merah yang membentuk nafsu amarah, yaitu naluri berani dalam menghadapi bahaya, bersemangat dalam melakukan pekerjaan, dan pantang menyerah, 3) Angin dengan warna kuning yang membentuk nafsu supiyah, yaitu naluri manusia yang suka keindahan, kesusateraan, seni, dan asmara, 4) Air dengan warna putih yang membentuk nafsu mutmainnah, yaitu naluri manusia yang selalu ingin melakukan kebajikan, menjunjung tinggi rasa cinta kasih, dan selalu berpikiran positif.[41]

  1. Monisme-Panteisme (Manunggaling Kawula-Gusti)

Dalam dunia tasawuf, paham monism-panteisme atau penyatuan dengan Tuhan adalah paham yang paling populer di satu sisi dan dikalim sesat di sisi yang lain. Monisme-pantesime adalah paham yang memandang bahwa alam semesta merupakan aspek lahir atau tajalli (manifestasi, pengejawantahan) hakikat tunggal, yakni Tuhan.[42] Dari segi prakteknya, paham monism-panteisme atau union mistik ini dilakukan karena seorang sufi telah meyakini bahwa dirinya telah menemukan Dzat Tuhan dan apa yang ada dalam Dzat Tuhan telah ia miliki. Segala bentuk sifat dan kehendak Tuhan seolah-olah dianggap telah melebur dalam diri seorang sufi. Ini kemudian dalam khazanah dunia tasawuf dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 817 M) dengan klaim mistisnya “Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku, Husain bin Mansur al-Hallaj yang mengklaim dengan kalimat “Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan), dan Ibn ‘Arabi dengan konsepnya “wahdat al-wujud”. Karena mereka dianggap sesat oleh kelompok syari’at yang berpaham legalism, maka puncak dari eksistensi mereka berakhir pada hukum mati.[43]

Dalam paham mistik Kejawen juga diyakini adanya konsep panteisme yang diistilahkan dengan Manunggaling Kawula-Gusti. Namun, menurut Sri Wantala Achmad, konsep panteisme yang ada dalam mistik Kejawen sedikit berbeda dengan apa yang ada dalam mistik Islam. Bagi kaum Kejawen, arti kata “bersatu” di sini bukan bersatunya Dzat, melainkan bersatunya antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan. Dalam pengertian lain, kalau manusia telah menjalankan perintah-perintah Tuhan, yakni menjalankan kebajikan-kebajikan dan meninggalkan laku angkara, manusia sudah bisa dikatakan manunggal dengan Tuhan. Karya sastra kejawen yang merepresentasikan pengembangan ajaran monis-panteisme, di antaranya; Serat Wirid Hidayat Jati. Wirid Hidayat Jati mengetengahkan ajaran martabat tujuh yang berasal dari Tuhfah al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Muhammad ibn Fadhlullah al-Burhanpuri al-Hindi dan karya seni pagelaran wayang yang dijadikan simbol sebagai penyatuan diri antara mikrokosmis (jagad alit) yang mengacu pada manusia, alam, dan makrokosmis (jagad ageng) yang mengacu pada Tuhan. Karenanya dalam dunia pewayangan, ada Bima yang bertubuh besar dapat memasuki dewa kerdil bernama Sang Hyang Bathara Ruci.  Dalam hal ini, penulis melihat bahwa konsep yang diyakini kaum Kejawen cenderung lebih moderat.

  1. Kesempurnaan Hidup (Kasampurnaning Dumadi)

Kesempurnaan hidup dalam dunia tasawuf lebih cenderung pada pemaknaan tentang rasa kepasrahan, kepatuhan, ketundukan, dan pengabdian kepada Tuhan secara totalitas. Praktik seperti ini sangat sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Rabi’ah Adawiyah dengan pendekatan gnostik mistis, yakni melalui rasa cinta kepada Tuhan yang kemudian membangkitkan rasa gandrung untuk bertemu secara tatap-muka dan bermesraan dengan Dzat yang dicintainya. Aspek cinta dalam dunia tasawuf adalah pangkal kehidupan batin para sufi. Annemarie Schimmel mengtakan “Misticism can be defined as love of the Absolute – for the power that separates trues mysticism from mere asceticism is love”.[44]

Dalam paham mistik Kejawen juga terdapat konsep yang serupa. Seperti contoh dalam dunai pewayangan Jawa, tokoh yang mengabdikan hidupnya secara total kepada Tuhan adalah Prabu Yudistira (Prabu Puntadewa) dari negeri Indraprasta. Selama hidup, Prabu Yudistira yang dijelmai Sang Hyang Bathara Darma tersebut senantiasa menggunakan harta benda sebagai sarana untuk melaksanakan darmanya (pengabdian) pada Tuhan. Oleh sebab itu, Prabu Yudistira dikenal sebagai raja lila ing Donya lan pati (raja yang selalu merelakan seluruh harta benda dan kematiannya karena totalitas pada Tuhan.[45]

  1. Adanya Sarana untuk Mencapai Pengetahuan Tuhan (Laku Spiritual)

Dalam dimensi sufisme, sarana atau metode operasional adalah aspek yang tidak kalah penting. Untuk mencapai tingkat konektivitas (makrifat) tertinggi dengan Tuhan diperlukan beberapa akses dan metode tertentu yang secara partikular harus dipenuhi oleh kaum penggiat sufi. Pada umumnya, proses penghayatan makrifat ini bisa dicapai melalui tiga tahapan[46], antara lain; penyucian seluruh hati hanya untuk Tuhan meliputi tujuh tahapan (maqam) yang harus dilalui, yaitu: 1) taubat, 2) wara’, 3) zuhud, 4) faqir, 5) sabar, 6) tawakkal, dan 7) ridla’, bentuk semedi dan meditasi, yakni memusatkan seluruh kesadaran dan pikiran dalam merenungkan keindahan Tuhan dengan penuh kerinduan, dan terbukanya tabir penyekat alam gaib (kasyf) atau proses mendapatkan penerangan dari nur gaib sebegai hasil semedi atau zikir.[47] Seluruh aktivitas tersebut tidak lain adalah bertujuan untuk menjadi – yang diistilahkan kaum sufi – insan kamil.

Demikian halnya dalam dunia mistik Kejawen, terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang salik ketika ingin mencapai titik pengetahuan tertinggi. Di antara yang menjadi laku spiritual bagi orang Jawa adalah pasa (puasa). Adapun ragam puasa yang dilakukan, seperti pasa weton, pasa dawud, pasa ruwah, pasa mutih, pasa patigeni, pasa ngebleng, dan pasa ngrowot.[48]

 

BAB III

PENUTUP

 

  • Kesimpulan

Dari uraian-uraian historis dan konseptual yang telah dipaparkan, tampak jelas bahwa mistik Islam dan mistik Kejawen memiliki titik persinggungan dan akulturasi yang amat kuat. Tidak dapat dipungkiri bahwa mistik Islam dan mistik Kejawen mengandung ajaran-ajaran spiritual yang serupa. Dalam wilayah esoteris, mistik Islam adalah ajaran tentang pengetahuan untuk mencapai konektivitas tertinggi dengan Tuhan melalui tahapan-tahapan strategis dan didasarkan pada cinta yang mendalam, hal yang sama juga terepresentasi dalam aliran mistik Kejawen yang menekankan pada ajaran tentang hakikat alam semesta, asal muasal manusia dan tujuan kehidupannya, serta hubungannya dengan Sang Maha Pencipta.

Elastisitas paham yang dimuat dalam kedua aliran tersebut pada akhirnya mengalami sinkretisasi dan penetrasi yang cukup hebat. Senyawa yang ada dalam mistik Islam saling melebur dan menyatu ke dalam aliran mistik Kejawen, begitupun sebaliknya. Dari proses sinkretisasi inilah kemudian lahir sebuah istilah yang disebut mistik Islam Kejawen. Islam melalui para guru agama termasuk kaum sufi, juga para pemuka kerajaan banyak melakukan islamisasi dan penetrasi terhadap kelompok Kapitayan (Kejawen) sehingga melahirkan paham yang cenderung islamis di satu sisi dan kejawen di sisi yang lain atau dalam istilah akulturatifnya adalah ajaran mistik Islam Kejawen. Ajaran-ajaran mistik Kejawen yang terakulturasi dengan mistik Islam kemudian terpotret dalam berbagai karya kepustakaan susastra Jawa, baik dalam bentuk serat wirid, suluk, atau tembang, seperti Wirid Hidayat Jati, Maklumat Jati, Centhini, Wedhatama, Wulangreh, Suluk Sukma Lelana, Malang Sumirang, Suluk Wujil, Sastra Gendhing, Jati Swara, Kunci Swarga, dan lain sebagainya.

Meski terdapat banyak kesamaan dalam wilayah esoteris, antara mistik Islam dan mistik Kejawen memiliki perbedaan mendasar pada dimensi eksoteris. Yaitu wilayah simbolik yang mendikusikan tentang tata cara dan metode operasional untuk mencapai ekstase dengan Tuhan berikut univikasi dengan-Nya. Kaum aliran mistik Islam mempunyai metodologi tersendiri dalam upaya untuk mengetahui dan mengenal Tuhan yang dalam hal ini melalui tahap penyucian hati (distansi), meditasi (konsentrasi), hingga penyingkapan tabir (kasyf).  Begitupula aliran mistik Kejawen, mereka mengandalkan pemusatan kepada Tuhan melalui cara yang variatif, seperti selamatan, sakralisasi simbol, meditasi, bertapa, dan berpuasa.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Roibin. 2009. Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer. Malang: UIN Press

Haidar Bagir. 2017. Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan

Suwardi Endraswara. 2003. Mistik Kejawen: Singkretisme, Simbolisme dan Sufisme Budaya Spiritual Jawa, Yogyakarta:  Narasi

Al-Jabiri. 1993. Bunyah al-Aql al-Arabi. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi

Mehdi Hairi Yazdi. 1994. Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin M. Bandung: Mizan

Louis Kattsoff. 1996. Pengantar Filsafat, terj. Suharsono. Yogyakarta: Tiara Wacana

Muthahhari. 1995. Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah. Bandung: Pustaka HidayaH

Sri Wintala Achmad. 2019. Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa. Yogyakarta: Araska

Annemarie Schimmel. 1978. Mystical Dimension of Islam. Chapel Hill, North Carolina: The University of North Carolina Press,

Simuh. 2019. Sufisme Jawa: Transformasi Islam ke Mistik Jawa. Jakarta: Gramedia

Taftazani, Abu al-Wafa. 1985. Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Rafi Usmani. Bandung: Pustaka Pelajar

Nicholson. 1974. Fî al-Tashawuf al-Islami wa al-Tarikhuh, terj. Afifi. Kairo: Lajnah al-Taklif wa al-Tarjamah, 1974

Qusyairi, al-Risâlah. Beirut: Dar al-Fikr

Mastuki, “Neo-Sufisme di Nusantara Kesinambungan dan Perubahan” dalam Jurnal Ulum al-Qur’an, ed. 6/ VII/ 1997.

Suwardi Endraswara. 2018. Falsafah Hidup Jawa: Meggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala

Purwadi dan Djoko Dwiyanto. 2006. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka

Rachmat Subagya. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan

Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju, 2003

  1. Sutjipto Wirjosuparto, A Short Cultural History of Indonesia (tt)

J.W.M. Bakker. Agama Asli Indonesia (tt)

Harun Nasution. 1975. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Busdiono. 1983. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta, Ombak, 1983

Mudji Sutrisno. 1993. Menjelajah Hakekat Pemikiran Timur. Jakarta: Gramedia

Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum al-Din. Semarang: Maktabah Usaha Kelurga

[1]Mudji Sutrisno, Menjelajah Hakekat Pemikiran Timur, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 126

[2]Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Islam ke Mistik Jawa, (Jakarta: Gramedia, 2019), h. 39

[3] Budiono, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta, Ombak, 1983), h.1

[4] Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, (Malang: UIN Press, 2009), h. 69

[5] Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2017), h. 50-51

[6] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Singkretisme, Simbolisme dan Sufisme Budaya Spiritual Jawa, dalam Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, (Malang: UIN Press, 2009), h. 137

[7] Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1993), h. 251

[8] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin M, (Bandung: Mizan, 1994), 47-8

[9] Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Suharsono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 144-5.

[10] Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer…h. 135

[11] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Singkretisme, Simbolisme dan Sufisme Budaya Spiritual Jawa, (Yogyakarta:  Narasi, 2003), h. 144-145

[12] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2019), h. 16

[13] Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer…h. 133

[14] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa…h. 13-14

[15] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, (Chapel Hill, North Carolina: The University of North Carolina Press, 1978), h. 4

[16] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam…h. 5

[17] Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Islam ke Mistik Jawa, (Jakarta: Gramedia, 2019), h. 38

[18] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam…h. 6

[19] Thabathabai, ‘Pengantar’, dalam Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1995), h. 11

[20] Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Rafi Usmani (Bandung: Pustaka Pelajar, 1985), h. 89-90.

[21] Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami wa al-Tarikhuh, terj. Dari bahasa Inggris ke Arab oleh Afifi (Kairo: Lajnah al-Taklif wa al-Tarjamah, 1974), h. 112.

[22] Qusyairi, al-Risâlah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.

[23] Muthahari, Menapak Jalan Spiritual… h. 46-48

[24] Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami…h. 84

[25] Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman ke Zaman…..h. 18-19

[26] Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman ke Zaman…. h. 20

[27] Mastuki, “Neo-Sufisme di Nusantara Kesinambungan dan Perubahan” dalam Jurnal Ulum alQur’an, ed. 6/ VII/ 1997.

[28] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa: Meggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen, (Yogyakarta: Cakrawala, 2018), h. 1

[29] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa… h. 47

[30] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa… h. 48

[31] Purwadi dan Djoko Dwiyanto, Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2006), h. 19 dalam Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer…, h. 125

[32] Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 63 dalam Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer…, h. 129

[33] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 39-40

[34] RM. Sutjipto Wirjosuparto, A Short Cultural History of Indonesia (tt), h. 1

[35] J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia (tt), h. 217

[36] Dalam bahasa Jawa kuno, kata “taya” didefiniskan dengan kosong atau hampa, walaupun begitu bukan berarti tidak ada. Istilah “taya” memang sering diidentikkan dengan kalimat tan kena kinaya ngapa yang berfungsi untuk menjelaskan bahwa “taya” adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat, dijangkau, atau diangan-angan. Sesuatu yang ada namun tidak ada, lihat Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa… h. 88

[37] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa… h. 86-87

[38] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa… h. 89

[39] Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Islam ke Mistik Jawa… h. 63

[40] Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Islam ke Mistik Jawa… h. 48

[41] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa… h. 18-20

[42] Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Islam ke Mistik Jawa… h. 210

[43] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 78

[44] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam…h. 4

[45] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa… h. 25-26

[46] Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Semarang: Maktabah Usaha Kelurga, juz II), h. 376

[47] Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Islam ke Mistik Jawa… h. 40-42

[48] Sri Wintala Achmad, Sejarah Agama Jawa: Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Agama Jawa… h. 32-33

62 Likes
 Adat Peminangan Perempuan Desa Bugoharjo Kabupaten Lamongan: Kajian Eksploratif Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons Adat Peminangan Perempuan Desa Bugoharjo Kabupaten Lamongan: Kajian Eksploratif Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons
Teori Agama dan Pemikiran Islam: Sebuah Tinjauan OntologisTeori Agama dan Pemikiran Islam:  Sebuah Tinjauan Ontologis

Related Posts

Article
[ November 6, 2019 ]
Experiencing in Overseas: Sebuah Catatan Perjalanan ke National University of Singapore
ArticleEssayResearch
[ February 25, 2020 ]
Rekontekstualisasi Makna Jihad Di Era Milenial (Kajian Tafsir Tematik Perspektif Ibnu Jarir At-Thabari Dalam Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Al-Qur’an)

Comment [01]

  1. plays both sides
    February 9, 2021

    keren bang sharingnya. toppp

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Wajar Romantis, Kan Kamu Baru Saja Menikah!
  • Peta Perkembangan Wacana Intelektual Islam Nusantara Abad Vii-Xxi: Sebuah Analisis Historis
  • Kosmologi Ibnu Arabi Dan Wabah Covid-19: Relasi Dan Solusi Alternatif Dalam Tasawuf Filosofis
  • Studi Persepsi Masyarakat Terhadap Fatwa Mui No. 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Wabah Covid-19
  • Benturan Antarperadaban: Wacana Prognisis Futuristik Tentang Lanskap Era Baru Politik Global

Recent Comments

  • plays both sides on Melacak Historisitas Dan Potret Interelasi Spiritual Mistik Islam Dan Mistik Kejawen
  • David Parker on Light Mug with Logo

Archives

  • May 2022
  • July 2021
  • June 2021
  • November 2020
  • May 2020
  • April 2020
  • March 2020
  • February 2020
  • November 2019
  • October 2019
  • September 2019

Categories

  • Article
  • Book Review
  • Critic
  • Essay
  • FIlm Review
  • Opinion
  • Research

Meta

  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.org
Featured image: Melacak Historisitas Dan Potret Interelasi Spiritual Mistik Islam Dan Mistik Kejawen

Thomas May

Hear 9 inspiring talks, meet the best product people in Europe, and party together after the event!

Categories

  • Article 26
  • Book Review 3
  • Critic 2
  • Essay 13
  • FIlm Review 2
  • Opinion 1
  • Research 11

Gallery

2
A Developer’s Guide to Expo: Workshops & Meetups
How to Redeem Your 2 for 1 Ticket on Thursday

How to Plan Your Community Event 2019
Announcing Our First 200 Exhibitors
It’s the Best. We Must Do Better

Recent Posts

No posts were found for display

[Mega Sale]

30% off

TIckets

get ticket

A researcher concerned on language & letters also Islamic studies. He has been writing many academic journals, essays, blogs, critics, & research. Besides, he is very like creativity in many fields, such as; graphic design, photography, & videography.

Recent Posts

  • Wajar Romantis, Kan Kamu Baru Saja Menikah!
  • Peta Perkembangan Wacana Intelektual Islam Nusantara Abad Vii-Xxi: Sebuah Analisis Historis
  • Kosmologi Ibnu Arabi Dan Wabah Covid-19: Relasi Dan Solusi Alternatif Dalam Tasawuf Filosofis
  • Studi Persepsi Masyarakat Terhadap Fatwa Mui No. 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Wabah Covid-19
  • Benturan Antarperadaban: Wacana Prognisis Futuristik Tentang Lanskap Era Baru Politik Global

Copyright © 2019. M. Firdaus Imaduddin - Researcher & Developer. All Rights Reserved